Lihat ke Halaman Asli

Esti Maryanti Ipaenim

TERVERIFIKASI

Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Generasi "Baby Boomers" dan Hoaks

Diperbarui: 20 Januari 2019   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : copyblogger.com

Generasi Baby Boomers yang dikenal kolot pun pada gilirannya menggunakan gadget sebagai aktualisasi eksistensi mereka yang tidak atau kurang terpenuhi dari lingkungan dan keluarga terdekat.

Bila anda termasuk yang mengamati Pemilu AS 2016 lalu, anda pasti tahu bahwa sebagian warga Amerika membagikan tautan dari situs fake news di akun Facebook mereka selama kampanye pemilihan presiden tersebut. 

Tetapi banyak yang tidak tahu bahwa ternyata perilaku ini lebih banyaknya dilakukan oleh orang-orang di atas usia 65 tahun. Demikianlah yang ditemukan Andrew Guess, Jonathan Nagler dan Joshua Tucker, para peneliti di Laboratorium Media Sosial dan Partisipasi Politik Universitas New York dan Universitas Princeton dalam publikasi jurnal terbaru mereka. Penelitian ini dianggap sebagai langkah awal untuk menjawab ketidaktahuan banyak pihak tentang siapa yang sebenarnya membagikan fake news atau hoaks.

Secara kritis memang bisa dikatakan bahwa aspek demografi sama sekali tidak bisa menjamin kecenderungan afiliasi partisan terhadap kelompok tertentu. Penelitian ini mendapatkan bahwa aspek seperti pendidikan, pendapatan, dan gender tidak secara sistematis terkait dengan penyebaran berita palsu. Namun korelasi usia dapat mencerminkan perbedaan dalam sifat atau keterampilan yang lebih mendasar - seperti literasi media digital - yang secara teoritis terkait dengan perilaku berbagi di media sosial.

Hal ini menarik sekaligus adalah sebuah ironi yang membuat saya tergelitik untuk membahas temuan ini. Karena selama ini, sosialisasi dan edukasi penangkalan hoaks lebih banyak menargetkan anak-anak muda dan mereka yang saat ini masih duduk di bangku sekolah. Asumsi awalnya adalah bahwa kelompok generasi inilah yang sangat mungkin terpapar hoaks karena aktivitas mereka yang selalu bersinggungan dengan gadget dan media online.

Namun, realita yang terjadi di Indonesia selama musim politik belakangan, membuat saya pribadi harus mengakui bahwa hoaks nampaknya memang lebih sering disebarkan oleh kelompok demografi yang lebih senior. Meskipun, perlu dilakukan penelitian mendalam di Indonesia untuk mengklaim hal tersebut. Hanya saja bila memang benar demikian, maka pengajaran literasi media di sekolah tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalah penyebaran berita palsu jika kecenderungan berbagi seperti itu lebih lazim di kalangan warga yang lanjut usia.

Dalam teori generasi (Generational Theory) yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004) dibedakan 5 generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya, yaitu: Generasi Baby Boomers, lahir 1946-1964; Generasi X, lahir 1965-1980; Generasi Y atau sering disebut milenial , lahir 1981-1994; dan Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga iGeneration, GenerasiNet, Generasi Internet). DAN (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Kelima generasi tersebut memiliki perbedaan tumbuh kembang kepribadian.

Generasi berusia 65 tahun tentulah masuk dalam kategori Baby Boomers. Mereka disebut demikian karena generasi ini terlahir pada masa-masa dimana berbagai perang telah berakhir sehingga perlu penataan ulang kehidupan dan banyak keluarga yang memiliki banyak anak. Di samping itu, perekonomian dan pertumbuhan penduduk sedang mulai meningkat. Adat istiadat masih dipegang teguh dan bahasa slank belum berkembang. Orang-orang pada masa itu matang dalam pengambilan keputusan namun masih cenderung "kolot" atau konservatif dan bersikukuh dengan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran.

Penting untuk membahas karakteristik generasi Baby Boomers ini, untuk menjelaskan mengapa justru merekalah yang paling banyak menyebarkan hoaks, dan bukan generasi milenial yang lebih mungkin terpapar pesan-pesan online. Hipotesa saya, ini dikarenakan ketidakmampuan generasi Baby Boomers untuk menggunakan pisau analisa dan metode filter informasi yang sama seperti yang digunakan oleh generasi milenial. Selain itu, generasi milenial lebih cenderung progresif dan kritis terhadap informasi yang mereka dapatkan.

Seperti yang kita tahu bahwa disinformasi adalah sesuatu yang niscaya dalam tumpang tindihnya berita di dunia maya. Sehingga diperlukan sikap kritis dalam menanggapi dan menyaring informasi sebelum akhirnya memutuskan untuk membagikan kepada khalayak ramai, atau berhenti sampai di kita saja. Keputusan ini melibatkan berbagai aspek dalam diri seorang individu manusia, di antaranya aspek pengetahuan atau kognisi, aspek afeksi dan etika, yang menurut saya adalah pisau analisa yang bisa digunakan untuk menyaring informasi yang kita dapatkan. Ketiga aspek tersebut juga akan berbeda pada setiap generasi. Dikarenakan nilai-nilai yang mereka anut dari zaman ke zaman tentu saja berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline