Hari-hari ini, kita diterpa dengan tumpang-tindihnya informasi yang hadir dalam berbagai bentuk dan kreasi di media sosial. Salah satunya dalam bentuk meme. Setidaknya kita pernah me-like salah satu meme yang bagi kita lucu, menarik, kita setujui atau menurut kita make sense atau setidaknya merepresentasikan kecenderungan apa yang kita anggap sebuah kebenaran. Yang paling santer saat ini adalah meme politik dua kubu calon presiden yang akan berlaga di Pilpres 2019 nanti. Saking semaraknya meme tentang dua Capres ini di media sosial, saya hampir percaya bahwa masing-masing tim pemenangan sepertinya punya tim khusus yang memproduksi meme secara massal. Gambar dan materi apa saja bisa dijadikan meme dan menghasilkan banyak jempol online.
Lantas, sebegitu pentingkah Meme untuk mempengaruhi kecenderungan politik seseorang? ataukah Ia berfungsi untuk meneguhkan kecenderungan yang sudah ada? Para peneliti di Australian National University (ANU) menjawab pertanyaan tersebut dengan temuan hasil penelitian terbaru yang akan dipresentasikan pada The 11th ANU Spring Workshop in Social Psychology, 6 Desember mendatang. Namun sebelum dipresentasikan, mari mengintip sebentar hasil penelitian mereka.
Para peneliti tersebut mengatakan bahwa meskipun meme mungkin tampak tidak berbahaya, tetapi mereka memiliki potensi untuk menyebarkan pesan merusak. Meme yang menyebarkan pesan berprasangka lebih mungkin dipercaya jika dipasangkan dengan dukungan dari orang yang berpikiran sama.
Emily Read dari ANU Research School of Psychology, menemukan bahwa pesan berprasangka dapat dianggap benar, tergantung pada siapa dan berapa banyak orang yang mengesahkan pesan tersebut dengan "jempol" online. Menurutnya meme memuat pesan secara halus yang dapat dipahami secara online dan ide di dalam meme dapat menyebar seperti layaknya virus. Efek ini bahkan memiliki konsekuensi terbawa ke dunia nyata dan dapat mempengaruhi persepsi kita tentang demokrasi dan bagaimana kita memandang kebenaran.
Studi ini menguji prasangka partisipan dari Partai Demokrat dan Partai Republik - dua partai politik AS - terhadap imigran Islam di AS. Dalam eksperimen online, Para peneliti tersebut membuat meme dengan pesan berprasangka. Para peserta diberitahu bahwa itu diposkan dari akun Facebook kelompok Demokrat dan atau Republik. Jumlah dan sumber yang me-like meme tersebut sengaja dimanipulasi, kemudian para peserta ditanya apakah menurut mereka meme itu benar atau berprasangka. Peneliti membuat meme dengan dua gambar Patung Liberty dengan patung kedua yang mengenakan Burka dengan tulisan: Imigran akan diterima selama mereka menerima nilai-nilai kami.
"Kami sengaja meningkatkan jumlah yang me-like dan mengindikasikan bahwa sumber like meme tersebut berasal dari partai tertentu." Tutur Emily
"Hasilnya ketika meme menerima banyak like - lebih dari 18.000 - meme itu dianggap sebagai kebenaran, sedangkan jika tidak ada banyak like - 12 - meme itu dianggap sebagai berprasangka." Lanjutnya.
Percobaan juga menemukan bahwa orang lebih cenderung menganggap meme itu sebagai kebenaran jika jumlah like datang dari pihak mereka sendiri.
Ketika para peserta melihat meme itu diposting dan disukai oleh banyak orang yang berasal dari partai politik yang sama, mereka cenderung tidak melihat meme sebagai berprasangka dan lebih mungkin untuk menganggapnya sebagai kebenaran. Sebalikannya ketika ada banyak jempol yang menyukai tetapi meme terindikasi diposting oleh pihak yang berseberangan partai, maka para peserta melihat meme itu sebagai prasangka belaka.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Meme memiliki kekuatan persuasif yang besar tergantung dari siapa yang menyukainya dan siapa yang berinteraksi dengan meme tersebut. Meme dengan jempol online terbanyak dapat saja dianggap sebagai kebenaran atau prasangka dan sangat manipulatif. Meme-meme tersebut saat ini dan seterusnya berseliweran di media sosial, terus menerus menerpa kita. Di sinilah penting bagi kita sebagai netizen memiliki kesadaran kritis bahwa konten media sosial yang mudah dimanipulasi tidak bisa dijadikan rujukan memperoleh kebenaran.
---