Lihat ke Halaman Asli

Esti Estiarati

Menulis untuk Menikmati Hidup

Pegawai Tanpa Harapan

Diperbarui: 6 Desember 2017   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

screenshot pribadi

Jika Kamu  ingin mengetahui seperti apa pengalaman pekerjaan pertamaku, silahkan saja  tonton film drama Jepang HOPE : Misaeng, incomplete life. Pegawai Tanpa Harapan, itulah kira-kira gambaran kerjaku pertama kali saat diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta level menengah di kota Jakarta. Ya, ternyata tugasku hanya copy dan mengkopy di mesin foto copy kantor dan membantu pekerjaan lain yang tidak ada hubungannya dengan jurusan kuliahku. 

Mirip dengan Ichinose, dalam film drama itu, pekerjaan pertama kami adalah mengcopy berkas yang diberikan atasan dan terkesan menunggu perintah saja. Kita seolah dibiarkan dalam kebingungan, harus bagaimana lagi? Apalagi kita belum mengenal karyawan lainnya. Duh, rasanya gerogi sekali. Jujur saja, Direktur pernah menegurku karena aku terlihat menganggur. Salahku, seharusnya aku bisa meminta pekerjaan atau melakukan pekerjaan lainnya tanpa diminta. Aku tahu itu, tapi kan khawatirnya melangkahi aturan? Kaku sekali sikapku saat itu. Payah ya?

Aku menyebutnya saat itu sebagai pembantu umum kali ya, hahaha. Atasanku --entah mengapa- dia tidak langsung memberiku pekerjaan yang pas untukku. Bukankah aku melamar kerja menjadi Tax Accounting Staff? Wah, mengapa hanya disuruh mengcopy dan rapi-rapi saja? Protesku, dalam hati, tentu saja. Ih, kampungan sekali ya.

Hampir sebulan lamanya pekerjaanku hanya diminta untuk memfoto copy dokumen dan merapikan file. Wah, untung saja tidak sampai diperintahkan untuk membuat coffee seperti di film HOPE, hahaha.

Sangat tidak kupahami. Apa maksudnya bos mentelantarkanku. Betapa nelangsanya aku ketika melihat karyawan yang lain sedang  sangat sibuk , sementara aku hanya duduk dan merapikan yang ada saja. Untuk menutupinya, sebisanya, apa saja aku lakukan supaya tidak terlalu kelihatan menganggur. Kadang aku isi dengan membaca buku dan file yang ada. 

Di zamanku dulu, sekitar tahun 1993, belum ada yang namanya gadget pintar seperti sekarang ini. Ah, seandainya di zamanku itu sudah ada handphone pintar, tentu aku bisa memanfaatkan waktuku dengan membuka internet, wachapp-an bersama teman-teman dan lain-lain  seperti yang biasa kita saksikan sekarang ini. Lebih keren kan kelihatannya? Kita bisa pura-pura sibuk dengan HP, padahal sedang chattingan dengan teman.

Karena selalu melakukan pekerjaan yang tidak terlalu menyibukkan ini, menjadikan waktu berjalan  terasa lebih lama. Sejam rasanya dua jam. Sesekali aku melirik jam, berharap waktu istirahat makan siang tiba. Satu jam untuk istirahat, aku lega. sedikit bisa mengurangi kebosananku di ruangan kerja.

Pernah terpikir juga untuk berpindah kerja saja, namun tidak kulakukan karena kutahu mencari pekerjaan tidaklah mudah. Yup, jalani saja apa yang diperintahkan atasan, tidak perlu malu dan protes. Setidaknya sebagai ungkapan rasa terima kasih karena mereka mau mengangkatku menjadi pegawainya. Yup, bergembiralah, batinku. Aku sudah punya meja kerja sendiri, lengkap dengan satu set komputer dan perlengkapannya. Rasanya tidak sabar, ingin segera punya berkas-berkas menumpuk di meja seperti pegawai yang lain. Menantang sekali rasanya. Duh, lebay deh.

Demi menjaga omelan bos, akupun pun tidak pernah terlambat datang ke kantor. Jangan cari masalah, kata seniorku. Pegawai baru harus kuat mental dan tahan hardikan bos. Tunjukkan kinerja terbaikmu dan berpretasilah. Nasihat dariku, untuk diriku sendiri. Bukankah untuk bisa disukai  , memang butuh pengorbanan? 

Toh, Masa yang membosankan itu tidak akan lama. Pada akhirnya kita akan bekerja sesuai dengan bidang kita masing-masing. Tiga bulan berikutnya, aku mulai dilibatkan dalam rapat-rapat kepegawaian dan  pernah juga diajak rapat bersama direksi. Hmm mungkin karena posisiku di bidang perpajakan,kami  harus rutin membuat laporan untuknya. Pertamakali diminta menghadap direktur sendirian, belum apa-apa, sudah sempat membuatku gerogi, khawatir ada yang salah dalam pekerjaanku. Wah, sudah seperti di film saja. Kini aku menjadi seorang karyawati yang sibuk! 

Akhirnya aku memang wajib bersyukur dan bangga bisa bekerja di salah satu gedung bertingkat di bilangan Sudirman, Jakarta. Bertemu dengan banyak orang yang selalu tampil rapi dan berwibawa. Yang laki-laki kebanyakan berdasi, sementara yang perempuan terlihat menggunakan setelan blazer. Sementara aku, bagaimanakah penampilanku saat itu? Wah, tentu saja aku berusaha tampil rapi dan bersahaja.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline