Lihat ke Halaman Asli

Esti Estiarati

Menulis untuk Menikmati Hidup

Pergi ke Jakarta, Siap-siap Kesal Ya?

Diperbarui: 13 November 2017   00:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mobil keluarga sudah terjual kemarin. Diawal, rasanya ada yang kurang, tidak ada yang bisa dinikmati, dan rasa sesalpun muncul karena tidak bisa bepergian kemana-mana dengan leluasa. Sejak saat itu, kami berangkat kerja, kuliah dan berbelanja terpaksa naik kendaraan umum.  Yup. Apa boleh buat.

Hari ke hari tanpa kendaraan pribadi. Begitulah, lama kelamaan jadi terbiasa. Keluarga tidak mudah mengeluh lagi, kami memperkuat kesabaran, bagaimana agar bisa tetap menikmati hidup tanpa kendaraan pribadi.

Ke di Indonesia? Aduh siap-siap kesal deh, tutur sahabatku yang tinggal di luar negeri. Wah, pernyataan ini mengusikku hingga kini. Aku bertanya terhadap masalah apakah ia menjadi kesal? Jawabnya, ya karena lalu lintas jalan yang selalu macet terlebih di kota Jakarta dan sekitarnya ini, kamu harus siap-siap kesal ya, hahaha. Bukan cuma tentang macetnya, tetapi juga karena orang kita kebanyakan tidak disiplin dijalan, datang tidak tepat waktu, tidak mau mengantri dan main serobot. Huhu sampai seperti itukah? Malu deh.

Pernyataan itu memang ada benarnya. Aku sendiri memperhatikan dan bolehlah menarik kesimpulan bahwa kemacetan di jalan bisa menjadi penyebab kita mudah marah, sensitive dan tidak sabaran. Coba saja kita perhatikan video dalam URL https://www.youtube.com/watch?v=YOUUwkCQLUo&feature=youtu.be, Seorang yang pemarah, tidak enak dilihat. Berbanding terbalik dengan orang yang santun, yang ini enak dilihat. Menurut pendapatku, kemarahan dan kesantunan adalah sesuatu yang bisa ditularkan. Bayangkan ketika kita melihat orang yang marah-marah di jalan, klakson mobil yang bersahutan dengan maksud mencoba mengingatkan pengendara di depannya yang tidak bisa maju, dan lain-lain kejadian di jalan, kita semua seolah menjadi saling menyalahkan. Tiba di kantor atau sekolah dalam kondisi yang melelahkan dan tidak mengenakan ini, tentu akan berefek pada proses bekerja. Dan lebih parah lagi, jika kondisi seperti ini terjadi setiap hari, maka masalah kejiwaan kita taruhannya. Orang kota jadi mudah marah lho. Aduh, masa sih sampai kesitu?

Hidup tenang dan nyaman, tentu haparan siapa saja. Kota Jakarta yang sebenarnya cantik seperti kota besar lainnya di dunia, jangan dirusak citranya karena pemandangan kemacetan lalu lintas. Turis malas datang ke Jakarta , lho.

Khusus di kota Jakarta dan sekitarnya, solusi kemacetan yang terjadi tidaklah semudah membalikkan tangan, tentu saja, kita yakin berbagai cara pernah dan sudah dilakukan. Tetapi tetap saja terjadi kemacetan. Dulu ada aturan kawasan mobil berpenumpang tiga atau lebih, sekarang ada peraturan ganjil -- genap dan berbagai aturan lain masih dan akan terus dicoba. Termasuk sedang dikajinya kebijakan Car Pooling, yaitu bagaimana sebuah mobil bisa mengajak turut orang lain di dalamnya, yang menurut saya, mirip kebijakan Three in One yang dulu pernah dilakukan.

Ada beberapa faktor yang dapat mengurangi kemacetan kota Jakarta, yaitu;

  • Warga dengan kesadaran penuh mengikuti aturan yang sedang diberlakukan.
  • Aturan Car Pooling harus dibuat secara tegas.
  • Pemerintah harus menyediakan fasilitas kendaraan umum yang memadai.
  • Tata Kota dibuat secara baik.
  • Pembatasan jumlah kepemilikan kendaraan, jika diperlukan.

Masalah kemacetan harus dicari solusi jangka panjangnya. Saya ingat lima tahun yang lalu ada orang yang berpendapat, suatu hari nanti ketika baru keluar rumah, kamu akan dihadapi oleh kemacetan, dan sekarang ini telah terbukti. Bayangkan apa yang akan terjadi dua atau tiga tahun kedepan, gambar yang ada di video diatas itu pasti akan terjadi. Kemacetan parah dimana-mana. Kita tidak bisa kemana-mana. Dari situ juga terdapat kenyataan bahwa kota yang padat tidak selalu menjadikan jalan-jalan menjadi macet. Mari belajar dari negara besar lainnya,  banyak sekali simpangan tetapi lalu lintasnya berjalan lancar.

Kembali pada pengalaman kami ketika menikmati hidup tanpa kendaraan pribadi, rupanya asyik-asyik saja. Keuangan keluarga juga menjadi lebih hemat karena menjadikan kami tidak  bepergian atau jalan-jalan dan mengurangi kegiatan berbelanja saya. Kami jadi berpikir yang praktis-praktis saja. Ya, dengan memanfaatkan teknologi yang ada di rumah, seperti internet, sangat memudahkan urusan apa saja. Tidak perlu berbelanja keluar, karena sudah ada' pasar-pasar' online. Tidak ada kendaraan pribadi tidak mengapa, kan bisa pesan antar jemput melalui berbagai aplikasi pintar yang beredar di masyarakat kita.

Selain itu jalan yang macet membawa banyak kerugian diantaranya boros bakar dan waktu yang terbuang. Lebih jauh lagi adalah masalah polusi udara dan lain-lain. Lebih baik waktu yang ada, kita pakai untuk berkarya dengan sebaik-baiknya daripada harus menghadapi kemacetan di jalan. Kalau tidak ada kemacetan, hidup dan waktu akan lebih optimal karena banyak yang bisa dilakukan. Begitulah, saya akhirnya lebih memilih tinggal dan berbisnis di rumah.

Cuplikan video selanjutnya, mengingatkan kita bahwa zaman kini telah berubah. Dulu, yang namanya daerah pinggiran, jarang terdapat kantor-kantor Bank, Pertokoan hingga Mall. Tetapi sekarang hampir di tiap Kabupaten dan Kota, tempat-tempat seperti itu sudah tersedia. Sehingga kita tidak perlu lagi pergi ke kota besar, jika tidak terlalu mendesak karena pemukiman kita bertambah banyak dan meluas, hingga rasanya sudah seperti di Kota besar saja, sudah lebih kumplit sarana dan prasarana umum yang dimilikinya. Tentu saja peningkatan jumlah penduduk adalah salah satu penyebab kemacetan di Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline