Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengeluarkan statement terkait pajak karbon. Indonesia menyatakan penerapan pajak karbon tidak hanya membuat ddara menjadi bersih dari emisi tetapi juga menciptakan ekonomi yang berkelanjutan.
Peneliti Ahli Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Kementerian Keuangan Hadi Setiawan mengatakan penerimaan dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan investasi teknologi ramah lingkungan atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.
Saat ini Indonesia telah memiliki undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP yang salah satunya mengatur mengenai pajak karbon. Sementara Kementerian ESDM tengah membahas rencana perluasan pengenaan pajak karbon diluar kategori pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berkapasitas 100 megawatt hingga 1000 megawatt.
Rencananya perluasan pajak karbon itu bakal menyasar pada PLTU di bawah 100 megawatt yang digunakan oleh industri hilir kilang minyak dan gas hingga sektor transportasi, namun implmentasinya akan dibicarakan lebih lanjut dan tidak dalam waktu dekat.
Rencana perluasan pajak karbon itu disampaikan oleh Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar pada Rabu 01 Desember 2021. Artinya pajak ini bakal menyasar PLTU untuk kepentingan umum milik PLN dan non PLN.
Wanhar juga menuturkan kementriannya tengah melakukan pembahasan intensif dengan sejumlah kementerian dan lembaga terkait menjelang implementasi pajak karbon pada 01 April 2022. (cnbcindonesia.com,01/12/2021)
Sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan rencana jangka pendek yang ditargetkan adalah seluruh unit PLTU di tanah air ikut berpartisipasi dalam perdagangan karbon. Seiring dengan komitmen global untuk menekan emisi gas buang dari tahun ketahun pemerintah terus menaikkan pajak.
Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi pemasukan negara justru bergantung pada pajak bahkan pemerintah nampak terus mencari apa saja yang bisa dikenai pajak tak terkecuali yang menjadi emisi atau buangan perusahaan atau industri. Tentu ini logika yang membingungkan, bukankah buangan dari industri harusnya dikelola agar tidak membahayakan lingkungan
Inilah realitas negeri yang menerapkan sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan utama negara selain utang. Maka tak heran jika sampah pun bisa menjadi sasaran pajak, sementara pada saat yang sama penerimaan negara dari sektor pertambangan sangat mini, padahal negeri kita dikaruniai banyak tambang.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi cadangan mineral yang sangat tinggi, sayangnya pengelolaan sumberdaya alam mayoritas diserahkan kepada asing contohnya tambang emas di Papua, geothermal di Gunung Salak yang dikuasai Chevron dan lainnya.