Covid-19 belum usai dan kini dunia telah digegerkan lagi dengan varian baru virus Corona yang dinamakan Omicron. Dalam beberapa waktu terakhir puluhan negara kembali memperketat aturan pembatasan komitmen seperti syarat kedatangan pendatang asing hingga lockdown nasional.
Omicron adalah varian Corona yang pertama kali terdeteksi di Afrika diduga sejumlah ahli lebih menular dari varian lainnya. Hal itu memicu kekhawatiran terkait efektifitas vaksin yang sudah ada saat ini, yang dikhawatirkan tidak begitu mempan membasmi varian Omicron.
Organisasi kesehatan dunia WHO mengatakan varian Omicron pertama kali teridentifikasi di Afrika Selatan pada 9 November lalu. WHO memasukkan Omikron dalam daftar variant of consent yang artinya merupakan varian yang menjadi perhatian karena memiliki tingkat penularan tinggi., virulensi yang tinggi dan menurunkan efektivitas diagnosis terapi.
Pemicu kemunculan varian yang lebih berbahaya adalah konsekuensi logis dari penanganan pandemi Covid-19 yang berlandaskan pada ideologi kapitalisme.
Bagi peradaban kapitalisme satu-satunya nilai yang diakui adalah nilai materi atau ekonomi yang berujung pada dominasi nilai materi atas nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan pada kesehatan dan keselamatan jiwa manusia harusnya steril dari perhitungan ekonomi untung-rugi. Dan mirisnya, nilai materi pada aktivitas ekonomi inilah yang dapat dipahami dari naskah panduan mitigasi Covid-19 yang dicetuskan oleh WHO.
Panduan ini diadopsi rezim berkuasa di seluruh dunia, yang menjadikan penanganan ekonomi dan kesehatan harus beriringan meski pada akhirnya kepentingan materi dan ekonomi yang diutamakan, akibatnya penanganan pandemi tidak diarahkan pada tujuan yang benar berupa pembasmian virus yang ada.
Sikap negara kapitalisme yang mengakui Lockdown sebagai tindakan yang jauh lebih efektif namun diabaikan pada akhirnya membuat mereka bersandar pada teknologi penanganan pandemi kapitalisme.
Fokus pada tindakan 3T yakni testing, tracing dan treatment dan 5m yakni memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Alhasil penanganan pandemi tidak tuntas hingga ke akarnya.
Sejak awal, vaksin dirancang untuk tindakan klinis individual pencegah agar orang yang terinfeksi tidak jatuh sakit dan bila sakit tidak begitu parah, bukan untuk tindakan komunal sebagai pemutus rantai penularan.