Kasus mafia tanah kembali marak, korbannya mulai dari artis, pejabat, masyarakat dari kelas bawah sampai pelaku usaha tak luput dari jeratan mafia tanah. Seperti yang dirasakan oleh artis Nirina Zubir, dia menjadi korban atas mafia tanah sebesar Rp 17 miliar (metro.sindonews.com, 23/11/2021). Tiba-tiba tanahnya dihancurkan begitu saja, diserobot dengan cara premanisme, dirusak oleh pengembang properti besar di kawasan Jakarta Utara. Bahkan SHM milik Tony Permana telah dijual ke masyarakat secara sewenang-wenang, yang diklaim oknum dengan menggunakan bukti yang diduga palsu serta tidak jelas asal-usulnya.
Danpuspom TNI Laksamana Muda Nazali Lempo mengungkap modus mafia tanah Kelapa Gading yang mengklaim tanah seluas 32 Hektar miliki TNI AL. Tidak hanya itu ada tanah seluas 8,5 Hektar milik warga Kelapa Gading Barat bernama Yudi Astono yang menjadi korban mafia tanah.(viva.co.id, 11/11/2021). Dilansir dari CNN Indonesia, 02/06/2021, Kementerian Agraria dan Tata Ruang mencatat kasus yang terindikasi sebagai mafia tanah di Indonesia selama 2018 sampai 2021mencatat 242 kasus. Sekretaris Jendral Konsorsium Agraria (KPA), Dewi Sartika mengamati banyak faktor yang menyebabkan sindikat mafia tanah masih ada. Transparansi terkait administrasi lalu keterbukaan informasi tentang pertanahan perlu untuk digalakan.
Anggota Komisi II DPR dan anggota Panja Mafia Tanah Guspardi Gaus, dia menyebutkan praktik mafia tanah tidak mungkin tidak melibatkan orang dalam, karena perlu ada oknum yang membackup dan dari sini pasti memerlukan orang dalam (liputan6.com, 11/11/2021).
Kondisi maraknya mafia tanah telah gamblang menunjukan kepada kita bahwa sistem kapitalis menuntut peran negara harus berkurang, sehingga individu pemodal akan lebih bebas. Negara pun kian lemah dan keberpihakan negara makin mengarah pada kepentingan pemilik modal, terlebih ada rente yang menggiurkan individu pejabat yang mata duitan.
Inilah negara ketika berada dibawah kendali Kapitalisme. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan tidak bisa diberantas dengan transparansi maupun perbaikan akhlaq individu pegawai pemerintah saja. Namun harus direvisi secara menyeluruh terkait bagaimana penetapan hak atas tanah dan menerapkan sistem yang dapat melahirkan individu warga hingga pejabat negara yang amanah. Sistem yang dapat mewujudkannya adalah sistem Islam.
Dalam Islam meniscayakan bahwa pengurusan urusan umat adalah penguasa atau pemimpin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW " Imam adalah pengurus, dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya"(HR.Muslim dan Ahmad). Pengurusan ini termasuk soal pengelolaan pertanahan. Dalam Islam kepemilikan dan penguasaan tanah sejatinya didasarkan pada produktivitas tanah, yaitu soal menghidupkan tanah mati yang artinya memakmurkan tanah tersebut.
Rasulullah SAW bersabda "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya"(HR.Ahmad). Jika tanah dimiliki oleh orang yang lemah atau malas, tanah tersebut tidak akan dikelola dengan baik sehingga mengurangi produktivitasnya, maka kebijakan negara adalah mencari orang yang mampu produktif ditanah tersebut dan dialah yang akan memilikinya. Demikian halnya barangsiapa yang tidak mampu membuat tanah produktif, dia tidak dapat memiliki tanah tersebut.
Demikianlah pengelolaan tanah dalam Islam yang pastinya sesuai fitrah dan menjauhkan manusia dari sengketa yang berpotensi memunculkan kedhaliman dan arogansi korporasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H