Lihat ke Halaman Asli

Retno Esthi Utami

Pemerhati masyarakat

Pajak Selebgram Bukti Malasnya Negara

Diperbarui: 19 Oktober 2016   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Semakin tingginya aktivitas masyarakat di media sosial membuat kita  sering mendengar istilah Selebgram. Apa itu Selebgram ? Selebgram adalah istilah untuk para pengguna akun Instagram yang terkenal di situs jejaring sosial tersebut. Istilah itu merujuk pada kata selebritis dan Instagram dimana perpaduan kata itu berarti orang yang terkenal layaknya selebritis di Instagram. Selain bisa menjadi selebritis di sosial media, dengan menjadi selebgram kita bisa memperoleh banyak endorsement dari berbagai brand dan toko online.

Keuntungan yang diperoleh dengan menjadi selebgram cukup menjanjikan. Seperti dikutip dari dailymoslem.com, seorang selebgram disebut memasang tarif Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000,- untuk satu kali endorse atau promosi produk lewat akun Instagram-nya. Hanya dengan 1 produk saja yang dipromosikan, para selebgram tersebut dapat memperoleh minimal Rp 15.000.000,-

Pemerintah ternyata juga melihat potensi dari aktivitas didalam social media ini. Pemerintah yang saat ini sedang mengincar tambahan penerimaan dari sektor pajak. Salah satu yang dibidik Direktorat Jenderal Pajak adalah para selebritis di media sosial atau selebgram yang memberikan ruang di akunnya untuk iklan produk tertentu. Diprediksi, pemerintah bisa mendapatkan pemasukan hingga 1,2 miliar dollar AS atau setara Rp 15,6 triliun, jika bisa menarik pajak dari kegiatan di media sosial tersebut. "Kalau ada keuntungan, kena pajak. Gitu saja, memang objek pajak kok. Pajak itu prinsipnya bayar ya bayar. Kalau nggak, ya nggak," ujar Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi usai rapat di Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (12/10/2016).

Dilansir dari Okezone.com 13/10/2016, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengutarakan, pemungutan pajak ini tidak ada bedanya dengan pemungutan pajak pada pengusaha lainnya. Tarif pajak yang dikenakan pun tak jauh berbeda. "Sama dengan dengan Pajak Penghasilan (PPh) lainnya. Tidak ada bedanya," ujarnya.Aturan ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Sudah menjadi tabiat dari bangsa ini, untuk menjadikan pajak sebagai pemasukan utama APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama juga menjadi cerminan bagi negara yang malas berfikir serta tidak kreatif dalam menggolah kekayaan sumber daya alamnya. Padahal Indonesia adalah negara yang kaya dengan tambang emas, batu bara, dan barang tambang lainnya. Dengan pajak sebagai pemasukan utama bagi negara dapat dilihat bagaimana hubungan keuangan antara rakyat dan negara ini. Rakyat yang seharusnya diayomi oleh negara, justru diperas habis-habisan dengan berbagai pajak yang harus mereka bayarkan. Demikianlah jika negara menggunakan sistem kapitalisme, yang memanfaatkan sumber dayanya baik itu alam maupun manusianya demi mendapatkan pendapatan sebesar-besarnya.

Berbeda dengan sumber pendapatan negara didalam pemerintahan Islam. Dijelaskan oleh KH Hafidz Abdurrahman dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Sedangkan mengenai pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “Harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.”[al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129].

Tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari Muslim yang mampu. Dari pendapatan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf).Jika ada kelebihan maka dia menjadi wajib pajak. Tetapi, jika tidak ada kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya. Selain itu pula, negara tidak akan memungut biaya bagi pelayanan terhadap masyarakatnya, bahkan negara akan memberikan fasilitas terbaik dalam pelayanan tersebut. Seperti dalam hal kesehatan, pendidikan, listrik, keamanan dll. Termasuk pula tidak akan ada pungutan dalam hal pengurusan dokumen kependudukan seperti KTP, Akta, SIM, dan lain sebagainya karena itu adalah tanggung jawab dari negara.

Maka bandingkanlah antara sistem dari manusia yang hanya berusaha untuk memeras rakyatnya habis-habisan dengan sistem dari Tuhan semesta alam yang tahu akan kapasitas dari negara itu sendiri, sumber dayanya serta masyarakat didalamnya, serta berupaya untuk mensejahterakan, mencerdaskan dan mensehatkan rakyatnya. Maka “Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Dimuat dalam http://www.visimuslim.net/2016/10/pajak-selebgram-bukti-malasnya-negara.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline