Waduk Pluit. Dokumen pribadi.
.
Ahok ngurusi Jakarta kok ribut-ribut. Pencitraan. Contoh dong Kang Emil, kerja nggak pakai ribut.
Jika diperhatikan, keributan di lingkungan Ahok tidak menyentuh esensi. Soal tidak santun lah, soal arogan lah, soal keturunan Cina lah. Dan seterusnya. Ada masalah apakah sehingga soal kurang santun, soal keturunan, menjadi masalah sedemikian besar sehingga muncul upaya-upaya melengserkan Gubernur? Keributan ini menggiring masyarakat sehingga lebih focus kepada hal yang bukan esensinya.
Kita tidak mendapatkan informasi jelas, mengenai masalah apa sehingga Ahok dimusuhi orang banyak. Namun, kita bisa melihat hal-hal yang kasat mata.
Tambah-kurang-kali boleh salah, tapi bagi-bagi tidak boleh salah. Kalau salah bisa ribut. Ini yang terjadi di DKI.
Sebagai masyarakat awam, mari saya ajak anda melihat yang kasat mata DKI saja. Sejak Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI, berbagai pembersihan dilakukan. Mulai dari relokasi warga Waduk Pluit, pembersihan kawasan Tanah Abang, dan berbagai area lainnya. Di masa Ahok, pekerjaan ini diteruskan. Warga bantaran sungai secara bertahap direlokasi. Demikian juga warga di sekitar rel kereta, mulai dibersihkan.
Pernahkah anda berbincang-bincang dengan tukang rokok yang mangkal di trotoar, tukang ojek, dan penghuni rumah liar? Semua bayar. Jualan rokok di trotoar bayar. Mau mangkal di pangkalan ojek bayar. Bantaran sungai dan danau diperjual belikan. Selain beli, masih ada biaya sewa yang tidak jelas kemana uang mengalir.
Mari kita berhitung.
Jika harga sewa satu lapak dagangan, rumah liar, lapak prostitusi adalah Rp.200.000,-/ bulan, jumlah bangunan liar dan 100.000 unit, maka nilai transaksi sewa menyewa lahan negara secara illegal adalah Rp. 240 miliar setahun.
Bayangkan. Transaksi ini dibubarkan oleh Jokowi dan Ahok. Lapak tanah Abang dibersihkan. Rumah liar dimusnahkan. Siapa yang tidak ngamuk kehilangan pendapatan Rp.240 miliar setahun?