Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Saya Banyak Belajar dari Ibu Saya?

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah foto ibu saya. Diambil setahun lalu. Tidak banyak perubahan. Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke 74. Ibu saya adalah pensiunan Kepala Sekolah Negeri. Ditinggal meninggal bapak saya tahun 1988, membuatnya terus berjuang agar kami, anak-anaknya bisa menyelesaikan pendidikan. Pada usianya yang ke-50, ibu meneruskan pendidikannya di Universitas Terbuka, agar mendapatkan gelar S1. Saat itu ibu berkata pada saya, "Saya saja tidak berhenti belajar, maka kamu juga harus begitu". Statement tersebut cukup membekas di hati saya sehingga saya bertekad sekolah hingga S2. Tidak mau kalah dengan ibu. Dan memang akhirnya saya berhasil juga menamatkan S2 saya dengan nilai memuaskan. Jika dimungkinkan, saya mau juga melanjutkan sekolah lagi. Setelah pensiun, ibu ditugaskan sebagai pengawas sebuah sekolah kejuruan di Jogja, sehingga membuatnya mondar mandir Jakarta - Jogja. Namun, 3 tahun lalu ibu jatuh sakit. Lalu saya memintanya untuk berhenti bekerja, termasuk menghentikan kegiatannya di gereja sebagai Majelis. Setelah melalui proses bargaining yang alot, akhirnya ibu bersedia berhenti menjabat sebagai apapun di gereja, dan Yayasan tempatnya bekerja memindahtugaskan ibu untuk menjadi pimpinan sebuah Panti Jompo Perempuan tak jauh dari rumah hingga saat ini. Sebuah kerja sosial - tanpa gaji - yg dijalaninya dengan senang hati sebagai bentuk pelayanannya pada Tuhan. Dengan sikap hati seperti ini, maka pola kerja yang dijalankan juga sungguh-sungguh: bekerja termasuk Sabtu, Minggu dan Hari Besar. Banyak hal yang saya pelajari dari ibu. Dibesarkan di keluarga yang sangat miskin, membuatnya memiliki empati terhadap orang miskin. Sejak kecil saya membantunya membungkusi puluhan kadang ratusan kantong zakat sebelum Lebaran, tanpa mengetahui dan tanpa diberitahu, bahwa tradisi tersebut adalah tradisi umat Islam. Kebiasaan tersebut tetap dilakukan hingga sekarang. Saya juga tidak lupa saat saya menikmati semilir angin siang, duduk-duduk di mushola yang dibangun ibu saya untuk masyarakat sekitar ibu saya bekerja dahulu. Mungkin saat itu situasi kerukunan beragama jauh lebih harmonis dibanding sekarang. Sehingga saya tidak melihat sebagai suatu keanehan, jika kami membagikan zakat atau membangun mushola. Namun situasi sekarang sudah sangat jauh berbeda. Memberi bisa dituduh Kristenisasi. Padahal sejak saya kecil kami sudah memberi pada banyak orang, tidak satupun yang masuk Kristen. Dan memang tujuan kami bukan Kristenisasi. Memberi bagi kami bukanlah ritual keagamaan, melainkan kebiasaan keluarga di hari Lebaran semata. Di usianya yang ke 74 tahun ini, dan jaman yang sudah berubah, apakah ibu saya berkurang semangatnya? Tidak. Abang bajaj langganannya tetap setia mengantar dan menjemputnya ke Panti Jompo. Saya tetap membantunya membungkusi zakat. Dia baru saja membangun mushola lagi. Dan minta didaftarkan kuliah lagi. Kita yang muda-muda ini jangan kalah dengan yang sepuh seperti ibu saya. Tidak tunggu kaya untuk membantu sesama, tetap berkarya dan menimba ilmu. Note: Tulisan ini tidak saya maksudkan untuk pamer atau minta dipuji. - Esther Wijayanti -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline