Lihat ke Halaman Asli

Dina Esterina

Pendeta di Gereja Kristen Pasundan. Podcaster dan blogger. Senang nulis dan baca.

Kidung Kemerdekaan dalam Hidup Manusia Digital

Diperbarui: 18 Agustus 2022   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Era digital menyisakan sebuah pertanyaan tentang identitas asli manusia yang selalu dipertanyakan: bagaimana ini mengubah saya? Semua jawaban dari pertanyaan ini menjadi sebuah siklus tak berakhir yang jika kita timbang dan uji melalui berbagai peristiwa hidup, kita bisa temukan, meski kadang tak selalu jelas. 

Digitalisasi kata wakil presiden Amerika, Al Gore akan menghantui manusia dengan sebuah kecurigaan tak berujung akan privasi yang tak terlindungi sebagai konsekuensi dari globally connected.       

Selubung digital ini menjadi dunia milenial, bagian dari hidup sehari-hari yang ayah dan ibu saya juga kena getahnya meski mereka baby boomers. Gaya hidup milenial yang suka kerja, tapi juga suka main membuat orang tua mereka keheranan karena mereka selintas tak pernah serius dengan hidup setelah mati. 

Meski, saya sadari juga relung batin milenial penuh dengan kehampaan karena dunia digital membuat kita mudah kelelahan dan menjauhkan kita dari keheningan yang membuat kita bahagia. Maka, tak heran, guru motivasi begitu dikejar, dan aliran Stoik begitu digemari sekarang ini.

Beberapa memilih bersembunyi di balik "kebenaran" media sosial yang membuat kita makin bingung. Tren begitu mudah menjalar, dan mengikutnya juga menjadi sebuah tekanan bagi milenial yang baru lahir di 2000-an. Bersama mereka, saya makin ketar ketir memberi informasi sebagai pendidik di Gereja karena ujung-ujungnya mereka sudah tahu sehingga harus selalu cari tahu yang enggak mereka tahu. 

Tapi di sisi lain, ada banyak juga yang mereka gak tahu. Kebanyakan di antara mereka, ingin jadi ini itu seperti sultan-sultan di media sosial. Mereka melihat anak-anak kaya yang tak kelihatan susah. 

Yang kesehariannya menikmati kemudahan, dan jalan "ninjanya" gak kelihatan sama sekali, dibanding jalan-jalannya. Akhirnya, karena susah membedakan mana yang realitas dan tontonan, banyak yang jatuh dalam kesedihan karena "menyusahkan diri dengan banyak perkara".

Era digital ini juga membuka pintu terselubung pada kebebasan berekspresi yang kadang tak terkendali. Ada guru yang mengeluh karena kebebasan ini tidak diimbangi dengan kebijaksanaan untuk bersikap baik. Opini disampaikan dengan serampangan dan teguran dianggap sebagai kekerasan. Ingin dihargai kemerdekaannya tapi tak menghargai kemerdekaan orang lain. 

Di media saya seringkali menemukan perkara dalam rumah diumbar ke mana-mana. Nama, lokasi rumah, keluarga, memoto dan merekam diam-diam semuanya jadi kebiasaan. 

Ada lagi anak-anak yang tak mengerti batasan sopan dan tidak lalu ditegur netijen dan akhirnya minta maaf karena merasa khilaf, tapi kemudian pola ini dipakai supaya seseorang terkenal. Terkenal bukan karena perbuatan baik atau prestasi, melainkan karena menghina, tapi gak papa lah, daripada gak terkenal!

Tentu semua bertarung menjadi dirinya yang sebenar-benarnya. Tapi tak mudah menjadi manusia yang mencapai itu, bahkan akan sangat menyusahkan kita ketika kita masih hidup dalam dunia ini. Maka, yang terpenting bukanlah semata panggung kesuksesan yang kita capai, melainkan juga proses yang kita jalani hari demi hari untuk menemukan "kebenaran" dalam hidup.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline