Lihat ke Halaman Asli

Eustachius Mali

Saya seorang guru SMA di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Penggalan Kisah Terkait Covid 19

Diperbarui: 27 April 2020   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca pengumuman para siswa dan guru dilarang ke sekolah agar menghindari kerumunan, seorang guru dalam grup sekolahnya menulis, "Yes, libur".

Mendengar cerita itu saya bingung. Bukan karena mau "show" bahwa saya guru yang baik, yang taat, yang bertanggung jawab sebagai pendidik. Namun kaget saja karena ternyata bukan saja siswa yang senang tinggalkan sekolah. Guru juga spontan mengungkapkan rasa gembiranya jika tidak ada pembelajaran di sekolah selama sekian pekan.

Kebetulan juga bertepatan dengan sebuah kedukaan dalam keluarga (bukan karena Corona Virus), saya juga tentunya termasuk dalam bilangan orang menjaga social distancing. Sekian hari tidak ke sekolah. Sejumlah minggu efektif dilewati dalam rumah. Katanya work from home (WFH). Maka sejumlah jenis administrasi yang belum sempat disentuh sebelumnya dirampung. Sambil melirik deretan panjang tuntutan perjanjian kinerja dengan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT beberapa tugas yang ditunda sebelumnya dituntaskan.

Hari demi hari berlalu. Rasa bosan di rumah mulai mengganggu. Beberapa kali kunjung sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumah. Pagar kayu dan bambu yang sudah kering malah dirusak sapi dan kambing warga sekitar. Rumput di halaman semakin tinggi dan subur. Sedangkan bunga-bunga yang ditanam siswa-siswi berantakan. Sebagian tanaman yang selama ini dijaga, dirawat agar kelak menjadi sekolah hijau tidak lagi utuh dahannya. Rupanya sedap dilahap ternak orang.

Bediri di halaman tengah. Menoleh ke kiri dan kanan. Sapi dan kambing yang telah diusir sudah pergi jauh. Yang ada hanya burung-burung kecil yang bertengger di pepohonan sekeliling sekolah. Tidak ada suara apapun di sana. Sesekali unggas liar yang tetutup dedaunan bernyanyi. Betapa nyaring bunyi burung-burung mungil itu.

Esoknya ke sekolah lagi. Coba menikmati betapa tenangnya lingkungan itu. Namun tugas yang sama menghalau ternak tetangga. Kali ini malah beberapa ekor sapi terikat rapi di dalam kompleks sekolah. Beberapa ekor kambing berlari menghindar dari lemparan batu. Seekor sapi yang lain tersangkut talinya di tiang pagar.

Sialan. Sekolah yang dulunya ramai jadi sunyi sepi. Yang ada hanya ternak dan unggas. Penjaga sekolah pun tidak muncul di pagi hari. Rupanya Covid 19 menghantui tugasnya pula.

Beberapa guru yang ditelpon tidak semua segera tanggap. Banyak yang offline. Sorenya, guru yang sedang online ditanya tentang perkembangan pembelajaran di rumah. Jawaban beraneka ragam. Jawaban pertama, "Bapak, saya sebarkan no hp saya kepada siswa. Tapi belum ada yang balas. Tidak ada nomor baru yang masuk, jadi tidak tahu kalau mereka bisa kirim tugas atau tidak."

Guru lainnya akui, telah berteman dengan siswa dalam facebook. Mereka juga bentuk grup khusus. Dan sudah beberapa kali komunikasikan tugas yang diberi gurunya. Luar biasa. Terngiang dalam ingatan, sejumlah hp disita ketika ketahuan membawa hp ke dalam ruang kelas. Kini keadaan sebaliknya. Guru harap-harap cemas apakah mereka bisa saling kontak via telepon genggam. Maklum waktu mendesak, sementara guru dan siswa belum pernah membayangkan bagaimana model makluk google classroom itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline