Pagi itu mentari bersembunyi dibalik awan hitam. Cuaca mendung menyelimuti langit Rangkat. Angin menderu deru menggigilkan tubuh tubuh setengah telanjang warga Rangkat yang sedang mandi dan mencuci di tepi kali. Disela kedinginan mereka masih terlihat canda tawa gadis gadis Rangkat yang berkulit putih mulus bersih, Aya, Cupi, Denok, Mala, Anna asyik bermain sembur semburan air. Tak ketinggalan pula yg berkulit sawo matang setengah keriput, Bunda Enggar dan Bunda Yeti sedang bercengkrama bergosip ria. Sementara si janda kembang Ningwang dan Mahar serta Mak Marla asyik mengumpulkan kayu bakar yang berserakan. Tampak juga Jingga sedang duduk diatas sebongkah batu sambil punggungnya digosok pakai batu oleh Pak Rt hingga tampak daki berwarna hitam pekat berguguran dari tubuh montok Jingga. Menjadi tontonan dari Acik dan Dorma yang mulutnya penuh mengunyah makanan sambil berjongkok di atas batu. Seketika muncul seorang wanita cantik, meninting keranjang cucian dengan gerak langkah gemulai, Rambut lurus panjang sebahu berpakaian ketat sedikit terbuka. Hingga menampakkan perutnya yg datar namun dengan puser yg sedikit bodong. "Selamat pagi semuaaa...." Sapa Mommy yang baru datang. "Selamat pagi juga Mom..." Sahut pak Windu yang sedang memancing sambil membuka kacamatanya memandang lekat lekat pada Mommy. "Auuuwwww...awaaasss ada sesuatuuu..." Aya melompat keluar dari air menghindari benda timbul sebesar pisang ambon berwarna hitam pekat yang mengambang lewat diantara kerumunan warga. Seketika warga menoleh serempak kearah hulu sungai tempat dimana benda itu berasal. Tampak Mas Hans sedang berjongkok dibalik sebuah batu dengan mata terpejam sambil mengepulkan asap rokok dari hidungnya. Warga hanya bisa geleng geleng kepala. Maklumlah, dia kan Kepala desa yang memimpin desa ini. "Aaaauuuwwww...tolooong...tolongin eike dong...amit amit jabang beibeh...ampuuunnn..." Tiba tiba dari balik semak semak muncul El hida dengan tubuh terbalut sarung yang menutupi hingga dadanya berlari dengan gemulai mendekati kerumunan warga. "Ada apa El...??" Mahar bertanya penuh penasaran. "Ada Afgaaannn...eh Bociiiing...eh maksud eike hantu Bociiiing...iiihhh...serem deh...." Jawab El sambil meloncat loncat bergidik. "Jangan bohong kamu El...mana ada hantu siang siang...??" Ranti memarahi adiknya . "Sumpah...akikah gak bohong deh...tuh dia....!!!" El menunjuk kearah rerimbunan pepohonan. "Aaaaaaaaa......toloooong......" Mas hans yang jaraknya paling dekat dari tempat kemunculan Bocinglah yang pertamakali merespon. Tanpa sempat memakai celana , Ia bergegas berlari pontang panting tanpa menghiraukan bagian bawah tubuhnya yg menjadi tontonan warga. Sedetik warga melongo, namun segera mengikuti jejak Mas Hans yang telah duluan menghilang masuk menuju desa. Seketika suasana sepi. Bocing dengan sebatang tongkat berjalan perlahan meraba raba menuju gubuknya. Keadaannya yang buta tuli membuat ia tak menyadari kegaduhan yang baru saja terjadi. Ia terus berjalan ditepi sungai meraba raba mencoba menemukan gubuknya. Dan ia tercenung. Ia hafal betul letak gubuknya, namun ia tak mendapatinya seperti sediakala. Hanya sisa sisa arang dan bau gosong yang ia rasakan. Ia terduduk diatas batu. Mencoba mereka apa yang terjadi. Siapa yang membakar gubuknya?. Dan kemana lelaki musafir penyakitan yang menumpang di gubuknya?. Warga yang penasaran kembali berkerumun mengintip dari jauh. Mereka memberanikan diri mendekati Bocing yang duduk diatas batu. "Woiy Cing...elu hantu atau bukan..??" Sekar memberanikan diri. Tak ada jawaban. "Dasar geblek...dia kan buta tuli...mana bisa denger..." Celetuk Bang Ibay pada Sekar. Menyadari bahwa yang mereka hadapi bukanlah hantu, bergegas pak Rt membuat tulisan timbul dari pasir. " Elu dari mana?... Siapa mayat yang ada di gubuk lu?" Setelah membaca pesan itu dengan tangannya, raut wajah Bocing berubah sedih. " Beberapa hari yg lalu, muncul seorang musafir yang sedang sakit parah kegubukku...ia tak memakai pakaian yg layak...maka aku berikan pakaianku...dan aku sendiri pergi kehutan mencari akar akaran herbal yang bisa menjadi penawar bagi penyakitnya...namun sayang...ia telah wafat sebelum aku sempat mengobatinya..." Kini warga mengerti. Ternyata jasad membiru dengan bagian wajah yang telah rusak dimakan belatung itu bukanlah jasad Bocing. Hanya saja perawakan mereka memang mirip dan si mayit memakai baju Bocing. Dalam hati warga menggerutu. "Sialan....Bocing muncul lagi....!" ######## BERSAMBUNG...########## CERITA SEBELUMNYA..... http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/09/15/17-bocing-oh-bocing/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H