Lihat ke Halaman Asli

(17) Bocing Oh Bocing

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Gelap....
Itulah pandangan yang pertamakali dirasakan oleh Bocing diawal kesadarannya dari koma yang berkepanjangan. Walaupun kelopak matanya terbuka, namun ia tak bisa melihat apapun.
Sunyi....
Tak satupun getaran suara yang hinggap di gendang telinga Bocing.
Hangat....
Ruangan sempit rumah sakit dan ramainya warga membuat hawa sedikit gerah.
Lembut....
Terasa begitu empuk sentuhan bibir Mahar yang mendarat di pipi Bocing.
Halus....
Usapan lembut jemari Aya yang menjalar di lengannya.
Basah....
Cipratan air liur diwajah Bocing ketika Jingga berbicara.
Bau....
Ketika pelan dan senyap semilir angin menyelinap keluar dari anggota bawah Cupi yang berdiri gelisah di sisi Bocing.

Bocing menggerakkan tangannya, meraba tubuhnya sendiri. Masih terasa nyeri bekas luka tusukan di dadanya. Tubuhnya masih lemah namun otaknya sudah kembali normal.
Segera ia sadar bahwa beberapa alat indera vitalnya tidak berfungsi.

"Sabar ya Cing.... Dengan banyak beristirahat dan obat yang cukup...semua kesehatanmu pasti akan segera pulih kembali...." Mahar berbisik ditelinga Bocing.

Namun takada respon dari Bocing yang matanya terbuka, namun pandangannya terlihat kosong. Ia sadar dan bergerak, namun ia tak merespon semua suara dari warga yang memberikan ucapan selamat padanya.
Hingga akhirnya warga sadar, bahwa Bocing telah buta dan tuli.

Bocing bangkit dan mengambil posisi duduk di ranjangnya. Ia tersenyum.

"Terimakasih....walaupun aku tak bisa melihat dan mendengar... Tapi aku merasakan cinta dan perhatian kalian. Aku datang kedesa ini sebatang kara... Sebagai pelarian dari negeri asalku. Sebuah negeri yang penuh dengan aturan.... Yang mengekang segala laku perbuatan dan tutur kata. Namun disini aku merasakan kebebasan dan kedamaian, suasana dan keadaan yg tak pernah kudapati di negeriku. Persahabatan dan kekeluargaan yang telah merasuk dihatiku. Berjuta tawa bahkan airmata silih berganti menghias wajahku. Kenangan kenangan yang tak akan pernah terlupakan seumur hidupku. Terimakasih buat kalian semua yang telah sabar menjadi pelampiasan keusilanku... Gejolak rasa yang tak bisa kulakonkan di negeriku. Terimakasih buat kalian semua yang telah setia menemani dikala ku sepi, membuat kutertawa dikala berduka. Namun sebagai manusia tentu aku tak luput dari salah dan khilaf... Dan dalam tidurku yg panjang, aku sadar telah membuat banyak hati yg terluka bahkan diri yang kecewa... Dalam kesempatan ini, dari hati yg tulus aku memohon maaf pada kalian semua. Aku tak tau sampai kapan aku bisa bertahan hidup dengan kondisiku yg seperti ini. Buta dan tuli, dengan luka tusukan dihati yg tak sempurna lagi...." Dengan terbata bata Bocing terus menceracau diatas ranjangnya.

Warga hanya terpaku mendengarkan, mengingat tak ada gunanya memotong pembicaraan Bocing yg buta dan tuli. Tak ada yang dapat mereka lakukan selain mendengarkan sambil sesekali mengangguk anggukan kepala.

Setelah masa perawatan berakhir, Bocing hidup sendiri disebuah gubuk kecil ditepi sungai Rangkat.
Rumah dan seluruh hartanya telah terjual untuk menutupi semua hutangnya termasuk tagihan RS.

Dalam kesendiriannya ia nikmati hidup.
Dengan kesulitannya ia jalani hidup.
Sambil memohon ampun pada Yang Maha Kuasa
Atas segala dosa dosanya.

Hingga disuatu pagi yang kelabu. Warga mulai terganggu oleh sesuatu. Sesuatu yang sangat mengganggu. Yang harus segera disingkirkan jauh jauh.

Pagi itu warga menutup hidungnya rapat rapat. Bau busuk menyebar dengan cepat. Mereka mencari sumber bau sampai dapat. Yang ternyata berasal dari gubuk si Bocing yang tertutup rapat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline