Wajah Pelayanan Kesehatan di Indonesia Gara-Gara Ada BPJS Kesehatan
Dalam kehidupan ini, ada hal-hal yang terjadi dengan tidak pasti, misalnya sesuatu yang datang tak terduga yaitu sakit. Kita mungkin tak perlu terlalu khawatir jika sakit itu datang ketika kita masih berusia produktif, berpenghasilan cukup, dan mampu untuk menjangkau biaya pengobatan. Namun, ketika sakit itu datang saat usia kita sudah renta dan tak lagi berpenghasilan, bagaimana kita bisa mendapatkan perawatan dan pelayanan kesehatan yang memadai, terjangkau, kapan saja, dan di mana saja?
Menjadi peserta asuransi kesehatan mungkin bisa menjadi salah satu pilihan karena asuransi kesehatan dapat mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri (out of pocket) yang kadang-kadang diperlukan biaya yang sangat besar dan dalam jumlah yang tidak bisa diprediksi. Akan tetapi, dengan asuransi kesehatan saja tidaklah cukup. Dalam hal ini, diperlukan Asuransi Kesehatan Sosial atau Jaminan Kesehatan Sosial karena premi asuransi kesehatan (komersial) relatif tinggi sehingga sebagian masyarakat tidak mampu menjangkaunya. Selain itu, manfaat yang ditawarkan oleh asuransi kesehatan (komersial) biasanya terbatas sehingga tidak semua biaya pengobatan dapat diklaim.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari program jaminan sosial yang diselenggarakan melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Asuransi Kesehatan Sosial ini bersifat wajib (mandatory) dengan tujuan agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. Salah satu prinsip yang diterapkan oleh BPJS adalah prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini sudah mengakar dalam kebudayaan Indonesia. Lebih jauh lagi, prinsip ini dapat diartikan bahwa peserta yang mampu akan membantu peserta yang kurang mampu atau peserta yang sehat membantu peserta yang sakit. Hal ini tentu saja dapat terwujud karena kepesertaan dalam BPJS bersifat wajib untuk seluruh penduduk Indonesia. Dengan demikian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diharapkan dapat tercapai.
Sejak mulai dilaksanakannya BPJS Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014, mungkin kita sudah banyak mendengar pengalaman-pengalaman dari keluarga, kerabat, teman, tetangga, atau mungkin pengalaman pribadi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan melalui sistem JKN ini? Jamak diketahui, suatu kebijakan baru umumnya menuai pro dan kontra. Banyak masyarakat yang sudah merasakan manfaat dari kepesertaannya dalam BPJS, salah satunya kakek saya sendiri yang biaya operasi kataraknya dicover sepenuhnya oleh BPJS. Melalui serentetan prosedur administratif yang harus dilalui, akhirnya proses operasi katarak bisa diselenggarakan dengan lancar. Demikian halnya dengan orang tua dari rekan sekantor saya yang harus menjalani operasi by-pass jantung. Keluarganya tidak lagi khawatir dengan besarnya dana yang harus dikeluarkan dari kantong sendiri karena semua biaya operasi pada akhirnya ditanggung oleh BPJS. Pengalaman lainnya, ketika saya berdiskusi santai dengan seorang sopir taksi yang baru pulih dari sakit Hepatitis-nya. Dia mengatakan walaupun antrian peserta BPJS yang harus dihadapi cukup panjang dan prosedurnya dianggap agak ribet, tetapi dia menyadari bahwa hal tersebut tidak sia-sia karena “harganya” tidak sebanding dengan seluruh biaya pengobatan yang sudah dibayarkan oleh BPJS. Dengan BPJS, kehidupan masyarakat tertolong tanpa harus menjadi jatuh miskin karena sakit yang dideritanya.
Boleh jadi, pernyataan saya di atas tidak disetujui oleh kaum yang kontra dengan kehadiran BPJS. Tidak sedikit yang mengeluhkan buruknya pelayanan yang mereka dapatkan sebagai peserta BPJS. Apakah benar, ini sepenuhnya salah BPJS? Dalam suatu kesempatan saya mewawancarai pasien-pasien peserta BPJS di beberapa rumah sakit, ada kesan kecewa dalam gurat wajah mereka disebabkan mereka merasa di-nomor-sekian-kan oleh para petugas kesehatan. Mungkin karena pasien-pasien tersebut adalah peserta BPJS sehingga pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tidak se-responsif jika mereka membayar dari dompet sendiri. Beberapa mengeluhkan panjangnya antrian rawat jalan. Sebagian lagi tidak terima karena orang sakit disuruh menunggu berbulan-bulan lamanya untuk mendapatkan jadwal operasi. Tak jarang juga pasien rawat inap yang kecewa karena tidak ditempatkan di kelas perawatan yang seharusnya. Kekecewaan juga dialami oleh rekan kerja saya ketika sedang berjuang mengobati anaknya yang sakit Demam Berdarah dan harus berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya demi mendapat fasilitas rawat inap seperti yang telah ditentukan dalam surat rujukan dokter puskesmas. Karena merasa ‘ditolak’ oleh beberapa rumah sakit, akhirnya rekan saya terpaksa membayar dengan dana pribadi untuk pengobatan anaknya tersebut. Semua kekecewaan, keluhan, dan ketidakpuasan ini gara-gara BPJS, benarkah demikian?
Lain kata pasien, lain lagi kata petugas kesehatan dan perangkat manajemen penyelenggara fasilitas kesehatan. Keluhan yang biasa diungkapkan oleh para dokter adalah sedikitnya jasa pelayanan yang didapat, jasa yang belum dibayarkan oleh BPJS, ribetnya proses pengisian rekam medis (terutama dikeluhkan para dokter spesialis atau sub-spesialis) yang harus lengkap terisi gara-gara BPJS, dll. Bagi perangkat rumah sakit, keluhan ada di seputar prosedur klaim yang ribet karena harus menyertakan kelengkapan dokumen pemeriksaan, proses verifikasi yang lama dan kadang berkas-berkas klaim dikembalikan lagi ke rumah sakit karena kurang lengkap, dll. Apakah ini semua juga gara-gara BPJS?
Seperti ditulis oleh Bapak Tonang Dwi Ardyantobahwa selama ini kita telanjur terjebak pada persepsi yang menimbulkan salah kaprah. Yang kita tahu adalah BPJS, bukan JKN sehingga kita pun terjebak untuk selalu menudingkan hampir semua hal dalam JKN kepada BPJS Kesehatan. Rupanya salah kaprah ini masih saja terjadi di tahun ketiga pelaksanaan JKN. Oleh karena itu, tidak heran jika akhir-akhir ini kita pun masih sering mendengar atau menjumpai kritikan-kritikan yang terlontar “gara-gara BPJS”.
Satu hal yang perlu digaris-bawahi dalam hal ini adalah banyaknya unsur atau “pemain” yang terlibat di dalam pelaksanaan sistem JKN ini. BPJS Kesehatan hanyalah satu dari sekian banyak “pemain” yang berperan di dalamnya. Unsur-unsur lainnya misalnya Kementerian Kesehatan dan fasilitas penyelenggara kesehatan (puskesmas, klinik, rumah sakit, dll). Jadi, sebenarnya kurang tepat jika semua kekacauan, kekecewaan, atau kesalahpahaman yang terjadi melulu ditudingkan kepada BPJS. BPJS itu fungsi utamanya mengatur kepesertaan dan mengelola dana amanat atau iuran rakyat. Urusan outcomepelayanan kesehatan, besaran jasa pelayanan, kebijakan yang terkait dengan pelayanan di fasilitas kesehatan semua murni urusan internal fasilitas kesehatan itu sendiri dan bukan ranah BPJS.
Ibarat bayi, di usianya saat ini BPJS masih belajar berjalan. Dukungan berbagai pihak sangat diperlukan agar tujuan Universal Health Coverage (jaminan kesehatan bagi semua penduduk) di tahun 2019 bisa terwujud. Oleh karena itu, fasilitas kesehatan dan segenap perangkatnya harus mau berbenah diri, Kementerian Kesehatan perlu terus mensupport, demikian juga dengan masyarakat Indonesia harus mau bergotong-royong dalam membangun kesejahteraan kesehatan di masa depan.
Mari kita bahu membahu demi Indonesia yang lebih sehat. Dengan bergotong royong dalam beriuran, secara tidak langsung peserta yang mampu akan membantu peserta yang kurang mampu secara finansial atau peserta yang sehat membantu peserta yang sakit. Dengan demikian, tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang menjadi miskin karena sakit dan tidak ada lagi stigma bahwa orang miskin dilarang sakit.