Keputusan Presiden Vladimir Putin untuk menunda ataupun menghentikan perundingan plutonium berkadar senjata antara Rusia dan Amerika bukanlah keputusan yang bersifat decision for itself. Eskalasi ketegangan yang lahir dari keputusan itu diyakini bisa merebak ke berbagai wilayah jauh di luar Rusia.
Bahkan tidaklah terlalu berlebihan kalau keputusan Rusia meghentikan perundingan itu dikhawatirkan akan menggoyahkan konstruksi stabilitas dunia. Sehingga negara-negara dunia ketiga yang terpecah dalam dua kutub kepentingan akan menderita sebagai victims of the policy.
Ada fenomena menarik dari penundaan ataupun penghentian perundingan antara Rusia dan Amerika Serikat terkait plutonium berkadar senjata. Pihak Rusia bersedia untuk memulihkan perundingan yang telah dihentikan ini kalau Amerika Serikat bersedia menarik pasukannya yang ditempatkan di sekitar perbatasan Rusia (VOAIndonesia 19/10/2016).
Sepertinya ada ruang yang terbuka dari penghentian perundingan yang telah ditetapkan Rusia lewat dekrit yang ditandangani Vladimir Putin. Sekalipun dekrit ini telah disetujui dengan suara bulat oleh Majelis Rendah Rusia, Dama, namun terkesan masih terbuka ruang. Ruang inilah yang seharusnya dimanfaatkan negara-negara dunia ketiga untuk melakukan pendekatan kepada masing-masing kutub.
Tentulah banyak pihak akan berharap perundingan yang dihentikan Rusia ini bisa dipulihkan kembali. Apalagi ini bukanlah perundingan awal. Perundingan terkait plutonium antara Rusia dan Amerika Serikat ini sudah diawali tahun 2000 lalu. Kala itu masing-masing pihak bersedia melucuti 34 metrik ton plutonium yang kalau digabungkan bisa menghasilkan sekitar 17000 senjata nuklir. Plutonium ini dibakar dalam reaktor.
Kesepakatan ini diperpanjang lagi tahun 2010 lalu. Namun pada April 2016, pihak Rusia menunda perundingan, bahkan sampai memutuskan penghentian perundingan dengan Amerika Serikat. Keputusan Rusia ini tentu sangat mencemaskan dunia. Apalagi plutonium termasuk logam aktinida radioaktif yang pernah digunakan dalam bom atom pada perang dunia II lalu.
Bahkan paska perang dunia II, para ilmuan yang terlibat pada riset senjata nuklir telah mengkaji efek plutonium pada hewan dan manusia. Kesimpulannya beberapa milligram plutonium per kilogram jaringan tubuh merupakan dosis yang mematikan.
Betapa mengerikan. Sewajarnyalah kalau banyak pihak berharap Presiden Rusia Vladimir Putin bisa melunak untuk memulihkan kembali perundingan Rusia –Amerika yang dihentikan, demi kemanusiaan dan demi semua mahluk hidup di bumi ini. (esemha)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H