Lihat ke Halaman Asli

Menuju Indonesia EMAS 2045, Tantangan dan Harapan Pendidikan

Diperbarui: 20 Oktober 2024   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yt Perspektif Wimar TV 

Penulis: Farid Asyhadi 

Pemerhati Kebijakan Publik

(asyhadi002@gmail.com)

Dalam sebuah wawancara yang mendalam mengenai tantangan pendidikan di Indonesia, Prof. Abdul Mu'ti, seorang cendekiawan muslim dan pendidik ternama, mengungkapkan pentingnya penguatan sumber daya manusia (SDM) untuk mencapai "Indonesia Emas 2045." Ia menekankan bahwa negara-negara yang kuat dibangun bukan hanya dari sumber daya alam yang berlimpah, namun terutama dari "sumber daya manusia yang hebat." Kekayaan alam, menurutnya, adalah sumber daya yang dapat habis, sementara pengembangan SDM adalah investasi jangka panjang yang tidak akan pernah usang.

"Pilihan untuk memperkuat sumber daya manusia itu adalah pilihan yang harus dilakukan," ujar Prof. Mu'ti. Ia menyoroti pentingnya pendidikan sebagai sarana mobilitas sosial dan nasional, yang memungkinkan individu serta bangsa bergerak maju di kancah global.

Namun, ketika ditanya mengenai kesiapan Indonesia dalam mencapai visi ini, Prof. Mu'ti mengungkapkan kekhawatirannya. Menurutnya, meskipun jargon seperti "Merdeka Belajar" telah dicanangkan, tidak ada "roadmap yang jelas untuk membangun bangsa dari sudut sumber daya manusia." Ia merasa bahwa kebijakan pendidikan cenderung berubah-ubah tanpa arah yang konsisten. "Kita seperti deja vu, muter-muter saja," ungkapnya, menyoroti masalah bongkar-pasang kebijakan yang tidak berkelanjutan.

Prof. Mu'ti juga menyampaikan bahwa meskipun inisiatif seperti "Merdeka Belajar" terdengar menjanjikan, masih terdapat kesenjangan antara gagasan dan pelaksanaan di lapangan. Salah satu tantangan terbesar, menurutnya, adalah kurangnya integrasi antara dunia pendidikan dan industri di Indonesia. Ia membandingkan dengan Jerman, di mana sistem pendidikan vokasional sangat selaras dengan industri, menciptakan "keseimbangan antara dunia industri dengan dunia pendidikan."

Sayangnya, di Indonesia, industri masih belum berkembang sekuat negara-negara seperti Jerman atau Korea Selatan. Prof. Mu'ti menilai bahwa "infrastruktur pendidikan dan industri kita tidak mendukung" terwujudnya hubungan yang harmonis antara pendidikan dan dunia kerja. Upaya sebelumnya, seperti mengintegrasikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan dunia usaha, menurutnya gagal mencapai hasil yang diharapkan.

Untuk menuju Indonesia Emas 2045, Prof. Mu'ti menekankan pentingnya membangun infrastruktur yang kuat, baik dari segi pendidikan, sosial, maupun politik. Ia menggarisbawahi bahwa perubahan besar harus dimulai dari "perubahan mindset," baik di kalangan guru, siswa, maupun pembuat kebijakan. "Teknologi secanggih apapun, penentunya adalah siapa yang menggunakan teknologi itu," tegasnya. Oleh karena itu, pelatihan guru dan pengembangan kemampuan dosen menjadi hal yang krusial untuk memastikan keberhasilan program pendidikan di Indonesia.

Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya tentang memberikan keterampilan kerja, tetapi juga tentang mencetak "manusia yang merdeka," seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan seharusnya membebaskan individu, bukan sekadar mengarahkan mereka pada pekerjaan. Prof. Mu'ti menutup dengan harapan agar visi besar pendidikan Indonesia dapat diwujudkan dengan roadmap yang jelas, sinergi yang kuat antara pendidikan dan industri, serta komitmen yang konsisten dari semua pihak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline