Lihat ke Halaman Asli

Lagu Perpisahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di malam gelap dan hening, bulan termenung sendiri di balik hamparan awan hitam tipis dan sunyi. Kepak sayap seekor gagak beberapa detik yang lalu masih menyisakan kengerian di sekeliling pojok gedung tua berlantai tiga. Beberapa tikus berukuran anak kelinci masih sibuk mengerat kabel-kabel yang kusut di dalam rangkaian mesin tua di dalam gedung. Melirik sedikit ke atas, terlihat atap tua yang hampir roboh dihiasi kelelawar-kelelawar yang bergelantungan. Sesekali kelelawar itu menghambur terbang mencari mangsa di bawah sorot lampu-lampu jalanan yang dikelilingi serangga-serangga malam yang lalu lalang.

Semenit kemudian sudah terlihat seorang pemuda berjaket hitam duduk diatas sepeda motor yang ia parkir sekenanya di pinggir jalan depan gedung tua itu. Api di ujung rokoknya terlihat jelas di kegelapan malam bolak-balik menuju mulutnya. Beberapa tikus yang dari tadi sibuk mengerat kabel-kabel kusut masih tampak asyik memoles gigi-giginya tanpa peduli kedatangan pemuda berjaket hitam di depan sana. Begitu juga kelelawar-kelelawar hitam masih lalu lalang dari bawah atap kayu yang hampir roboh menuju lampu-lampu jalan yang masih lengang. Tak ada yang peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Begitu juga bulan di atas langit sana seakan malas menyinari malam yang kelam.

Malam semakin larut, pemuda berjaket hitam tampak masih duduk di motornya. Sudah tiga batang rokok ia habiskan. Mulutnya mulai hampa mengering di dingin malam yang menusuk tulang. Terlihat raut wajahnya yang dipenuhi kegelisahan yang disebabkan entah apa. Tampak mengendap samar-samar di sela-sela sinar lampu jalan yang jatuh di mukanya. Daun-daun palem di sekitarnya mulai sedikit bergoyang-goyang melambai-lambai pelan tersapu angin tengah malam yang mungkin terasa menjemukan. Membuat seekor gagak yang bertengger di salah satu cabangnya bergerak-gerak sedikit terusik atas hempasan angin iseng yang membawa dingin malam. Setelah angin berhenti, mata sang gagak kembali tertuju pada gerak-gerik pemuda berjaket hitam di bawah sana. Sementara di atas sana bulan masih sembunyi di balik hamparan awan hitam tipis, hingga sinarnya tampak meredup sekelilingnya.

Pemuda berjaket hitam semakin tampak gelisah oleh entah apa. Bokongnya yang dari tadi lengket di jok motornya kini mulai ia angkat. Ia turun dari atas motor sekedar mencari posisi baru yang mungkin mampu mengurangi sedikit kegelisahannya, yang sekali lagi entah apa.

Jarum jam dinding di dalam gedung tua sudah tampak condong ke kanan pertanda hari sudah berganti. Namun hening malam masih melapisi tiap sudut ruangan yang remang oleh cahaya lampu dari luar yang masuk menerobos jendela yang selalu terbuka. Sesekali angin kecil masuk ke dalam ruangan yang tampak mengerikan itu sehingga menggoyang-goyang sarang laba-laba yang ada persis di balik jendela. Membuat sang laba-laba yang sedang terlelap nyenyak sedikit menggerak-gerakkan kaki-kakinya. Begitu juga kawanan cicak yang sembunyi di sela-sela dinding , sesekali mengeluarkan suara kering yang menggema di dalam ruangan. Membuat gedung tua itu semakin terasa sepi dan angker.

Di luar sana pemuda berjaket hitam masih berdiri di dekat motornya. Kali ini tangannya memegang sesuatu yang dari kejauhan terlihat bersinar bersaing dengan temaram lampu jalan yang remang. Terdengar suara lagu perpisahan yang mengharukan keluar dari ponsel yang masih ia pegang. Beberapa saat kemudian di dekatkannya ponsel itu di telingannya.

“Iya ada apa?”

“Kau dimana?”

“Dimanapun itu yang jelas aku sedang tidak tenang!”

“Aku tahu, sebagai teman aku hanya khawatir!”

“Lebih baik kau khawatirkan dirimu sendiri!”

Tuut.. tuut.. tuut.. pemuda berjaket hitam memutuskan panggilan temannya.

Sepertinya panggilan dari temannya tadi tidak membantu sama sekali. Tidak bisa meredam kegelisahan yang sejak tadi melanda seluruh jiwa dan batinnnya.

“Khawatir? tidak prihatin sekalian? biar seperti kata kepala negara itu!”, gerutunya.

Pemuda berjaket hitam kini duduk di tepian jalan, masih di dekat motornya. Di lihatnya langit di atas sana. Masih redup. Sepertinya bulan malam ini tidak sudi menampakkan keindahannya. Hanya kelam. Bintang juga tak nampak. Benar-benar pemandangan langit malam yang tidak diinginkan setiap orang, apalagi oleh sepasang kekasih yang saling membual di tengah taman. Pemandangan yang seakan semakin memperlihatkan kengerian di dalam hati pemuda berjaket hitam. Membuat ia menundukkan kepalanya, tak kuasa memandang langit yang sama sekali tidak menghiburnya, malahan bisa dibilang semakin menenggelamkannya dalam kegelisahan yang teramat dalam.

***

Dalam keheningan malam sepasang kaki terdengar mengendap-endap menyusuri jalan dari belakang gedung. Terdengar pelan dan hati-hati. Seperti terkejut melihat bayangan hitam dari kaki itu yang bergerak masuk ke dalam dan berjalan pelan ke lantai atas, seekor tikus yang masih tersisa dari kawanannya yang sejak beberapa jam lalu mengerat kabel-kabel kusut terlihat berlari dan sembunyi di balik tumpukan triplek-triplek yang bersandar di sisi tembok.

Pemuda berjaket hitam kali ini sudah memegang sebatang rokok lagi. Lalu merogoh kantong celananya mencari sesuatu. Saat tangannya kembali keluar, sudah ada korek api di sana. Dengan segera ia menyulut rokok yang sudah terjepit oleh ke dua bibirnya. Sesaat kemudian asap rokok di semburkan ke udara. Tampak pekat dan menggumpal sebelum akhirnya semakin menipis dan hilang di udara malam yang dingin. Baru sekali hisapan, nada perpisahan kembali terdengar berdering di saku celananya. Benar-benar tidak ada sedetikpun waktu untuk sekedar menikmati apapun. Di rogohnya ponsel sialan yang melantunkan lagu sendu itu. Ternyata teman yang tadi memanggil lagi. Tanpa berfikir panjang di tekanlah tombol merah untuk menolak panggilan itu. Ia tidak ingin mendengar kata “khawatir” lagi dari temannya itu. Tidak ada gunanya. Tidak membantu.

Pemuda berjaket hitam itu menghisap rokok dalam dalam, lalu kembali di semburkan ke udara. Benar-benar menjengkelkan, belum habis betul asap yang ada di dalam mulutnya ia keluarkan, ponselnya kembali berdering. Tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang memanggilnya ia langsung menekan tombol merah ponsel dari dalam sakunya. Ia benar-benar tidak peduli. Ia kembali menikmati sebatang rokok yang terjepit di antara jari tengah dan telunjuknya. Meski tidak bisa sepenuhnya menikmatinya.

Dengan perasaan yang masih jengkel dan kesal tentunya, pemuda berjaket hitam membuang puntung rokok yang masih setengah ke tengah jalan aspal yang dingin. Sepertinya ia tidak bisa membohongi perasaanya yang gelisah dengan menikmati sedikit nikotin yang terkandung di dalam asap rokok. Ia tidak bisa menikmati rokok itu seperti biasanya. Biasanya ia menikmati sebatang rokok dengan segelas cappucino panas di café dengan santai dengan diiringi lagu mellow yang mendayu-dayu menenggelamkan hatinya sehingga perasaannya tenang. Namun kali ini benar-benar kebalikannya. Tak ada ketenangan. Rokok itu terasa hampa di mulutnya.

Lagi-lagi ponsel yang ada di dalam saku celanannya berdering. Namun kali ini nadanya berbeda. Kali ini yang terdengar adalah nada pesan singkat. Dengan malas ia mengambil ponsel itu dan membuka pesan yang ia terima. Seperti yang ia duga sebelumnya, pesan itu dari temannya yang dari tadi menelfonnya tapi tidak ia angkat.

Cpt prgi!

Ia membaca pesan itu dengan acuh. Namun setelah beberapa detik, ia pikir-pikir lagi, sepertinya pesan itu benar-banar serius. Fikirannya mulai menerka-nerka apa yang dimaksud oleh temannya itu lewat pesan yang menyuruhnya untuk cepat pergi. Matanya mulai menatap sekelilingnya dengan liar. Tanpa terkecuali gedung tua yang berdiri sunyi di belakangnya. Saat matanya merambat sampai ke lantai paling atas, tiba-tiba pandangannya terhenti di salah satu jendela yang terbuka yang berjejer di atas sana. Benar saja, terlihat dari kejauhan sepucuk senapan laras panjang dengan moncong mengarah tepat di kepalanya.Ia segera berlari. Baru selangkah kakinya bergerak,

“Dorr!”

Sebuah tembakan di lepaskan dari atas sana tepat menembus kepala pemuda berjaket hitam. Ia tergeletak dan tewas seketika. Darah mengalir deras dari dahinya.Burung gagak yang dari tadi bertengger di pohon palem mengepakkan sayapnya dan terbang di kegelapan malam. Langit tampak semakin murung. Angin malam mengalir pelan seiring lagu perpisahan yang kembali terdengar dari ponsel yang tergeletak di samping tangan pemuda berjaket hitam yang terkapar tak bernyawa.

Pati, September 2012

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline