Lihat ke Halaman Asli

Hidup yang Menghidupkan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal bulan lalu, dalam sebuah perjalanan menyusuri sebuah kawasan perbukitan dan hutan di desa Kiru-Kiru Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, pandangan mata saya tertuju pada sebatang pohon ara yang cukup rimbun menaungi jalan setapak yang saya lewati menuju bendung Cempaga. Pohon tersebut tumbuh dengan liarnya membentuk tajuk rimbun.

Karena perjalanan saya bukan untuk menuju pohon tersebut, awalnya saya hanya memerhatikan sepintas saja pohon tersebut dan saya tetap meneruskan perjalanan menuju sungai Cempaga dimana Bendung Kiru-Kiru berada.

Setelah sekian waktu saya bersama tiga puluh rekan penyuluh yang mempelajari bangunan bendung dan operasionalnya serta menyusuri sebagian kecil dari keseluruhan jaringan irigasi ditempat tersebut, lagi-lagi mata saya tertumbuk pada sebatang pohon ara yang lain yang lebih rimbun lagi, dan kali ini, kerimbunannya melebihi pohon pertama.

Setelah saya amati seksama, ternyata pohon ara tersebut sedang dipeluk oleh beringin yang rimbun.

“Hah.. ada pohon berpelukan?”, jangan membelalak dulu, ini hanya kata pilihan saya untuk mendeskripsikan keadaan si pohon ara. Saya jadi membayangkan ada burung ranggong yang memakan buah ara, ada aneka burung yang bersarang diatas pohon persis seperti di film documenter yang pernah saya lihat.

Setelah berlama-lama menikmati suasana seolah saya berada dalam film yang pernah saya lihat, entah ini sebuah kebetulan atau memang rencana Tuhan agar saya mempelajari dua tumbuhan hebat ini, didalam tas saya ada sebuah buku yang mengulas kedua pohon tersebut.

Beringin ternyata tidak sedang memeluk pohon ara, tetapi ia sedang melakukan kudeta. Seperti dikatakan buku itu, kemungkinan besar, si pohon beringin itu dulunya berasal dari tempat yang jauh, ketika ia masih berupa buah beringin, ia dibawa oleh sebangsa burung dan bijinya dijatuhkan di ketiak pohon ara, dan disitulah cerita bermula. Beringin kemudian ‘diasuh’ oleh pohon ara, ia mendapatkan sumber makanan dari pohon ara. Lama kelamaan, beringin itu tumbuh menjadi pohon yang kokoh, akarnya dan batangnya mulai membelit si pohon ara, tetapi ara tidak lantas memberikan perlawanan, ia tetap setia mengasuh beringin sampai akhir hidupnya. Setelah ara mengikhlaskan hidupnya untuk kelangsungan hidup beringin, beringinpun kemudian hidup dengan lebatnya, bertajuk rimbun dan menjadi rumah bagi aneka burung, berbuah lebat sepanjang tahun dan menjadi sumber pangan bagi aneka satwa, sungguh menakjubkan.

Hidup yang menghidupkan, atau dalam falsafah orang Minahasa ‘si tou timou tumou to” begitulah saya menggambarkan nasib si pohon Ara, dia hidup, tumbuh menjulang di hutan, dan ketika tiba waktunya, dia akan perlahan-lahan mundur demi kelangsungan hidup jenis tumbuhan yang lain yang kelak member juga manfaat kepada makhluk yang lainnya.

Pernahkah kita berpikir menjadi si pohon ara? Pernahkah kita berpikir bahwa apa saja yang kita lakukan dimuka bumi ini seharusnya adalah sesuatu yang bermanfaat bukan saja buat diri kita? Pernahkah kita berfikir bahwa waktu kita dimuka bumi ini terbatas, dan apakah kita telah menjadi sebenar-benarnya khalifah yang memakmurkan bumi? Semoga sepenggal cerita tentang pohon ara dan beringin menyadarkan kita dan kita dengan mudah menjawab semua pertanyaan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline