Lihat ke Halaman Asli

Esaunggul

Universitas Esa Unggul-Perguruan Tinggi terbaik

Suka Mendiagnosa Penyakit Lewat Internet? Hati-hati Kamu Terkena Cyberhondria

Diperbarui: 6 Agustus 2021   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Universitas Esa Unggul

Di era digital ini, berbagai informasi dapat dicari lewat internet, tak terkecuali informasi tentang penyakit. Siapapun bisa memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyakit tertentu. Namun kita perlu bijak, sebab kalau ternyata semua gejala sesuai dengan yang dialami, jangan sampai membuat panik dan menyatakan diri sendiri menderita penyakit tertentu.

Dosen Farmasi sekaligus Ahli Mikrobiologi Universitas Esa Unggul, Prof Dr Maksum Radji, M Biomed menerangkan kebiasaan seseorang terlalu sering mendiagnosis jenis penyakit berdasarkan info yang didapat dari internet tanpa bantuan dokter. Kebiasaan ini disebut dengan istilah Cyberchondria.

"Istilah Cyberchondria mirip dengan istilah hypochondria yaitu suatu kondisi di mana seseorang yang sebetulnya sehat walafiat, tetapi mereka bersikeras mengaku sakit. Hal ini disebabkan oleh stimulasi pikiran negatif yang mendorong otak mereka untuk berpikir bahwa mereka sakit. Padahal kenyataannya, dia tidak sakit apapun," terang Maksum.

Maksum melanjutkan Akibat dari perasaan khawatir yang terlalu berlebihan dapat memicu kondisi psikologis mereka dan malah menjadi sakit. Fakta menunjukkan bahwa lebih 50% pengguna ponsel pintar menggunakan ponselnya untuk memperoleh info kesehatan dan berakhir dengan kecemasan. Padahal belum tentu informasi yang mereka dapatkan tersebut valid.

Maksum memberi contoh, misalnya ketika seseorang batuk, atau nyeri dada kiri, mereka akan mencari info dengan kata kunci batuk dan nyeri dada kiri di situs pencari melalui internet. Hasilnya dapat diduga bahwa mungkin ada lebih dari 50 hasil pencarian yang berkaitan dengan informasi tentang penyakit batuk, atau nyeri dada, mulai dari batuk yang terjadi saat demam hingga batuk yang terjadi akibat kanker esofagus. Akibatnya mereka bisa saja berasumsi sendiri tentang penyakitnya berdasarkan info yang mereka dapat dari internet.

"Dengan banyaknya informasi yang tersebar di internet, mereka menyimpulkan sendiri dengan penyakit terberat, padahal bisa saja, info dari internet tersebut tidak sesuai dengan jenis penyakit yang sebenarnya dialami seseorang. Akibatnya ia akan khawatir," ucap Maksum.

Maksum pun menerangkan bahwa di saat pandemi Covid-19 ini banyak sekali informasi yang menyesatkan tersebar diberbagai platform media sosial, yang oleh WHO disebut sebagai Infodemik.

"Infodemik adalah sejumlah informasi yang berlebihan tentang suatu masalah, sehingga saking massifnya informasi tersebut menjadi sulit untuk diidentifikasi kebenarannya," ucapnya.

Maksum mengatakan di Indonesia banyak sekali berbagai infodemik yang perlu diwaspadai. Mulai dari isu konspirasi, virus COVID-19 merupakan hasil rekayasa, hingga klim obat virus yang ampuh tapi yang belum melalui uji klinik, COVID-19 bukan disebabkan oleh virus tapi oleh bakteri, dan berbagai info menyesatkan lainnya.

"Akibatnya infodemik muncul berbagai kepanikan, termasuk menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat. Infodemik juga menimbulkan dampak yang kurang lebih sama dengan cyberchondria," terangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline