Lihat ke Halaman Asli

Secangkir KafeinISME#10 | The Man from Palbapunk

Diperbarui: 12 Juni 2016   12:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

....Sebuah cerita dari Yuki membuat saya penasaran dengan sosoknya. Kegigihannya untuk menjadi seniman kondyang, membuat saya tertarik untuk menulis kisahnya...

Entah kapan saat pertama kali berjumpa setelah lulus SMA 9 tahun lalu. Hanya teringat kala itu saya, Yuki, Pramono, dan Paksi memang sedang berkumpul di Janji Jhonny. Kemudian tak lama  sebuah kendaraan supercap 700 datang dengan suara khas berasal dari shok breakernya. Sejak itu lah saya bisa  menggali kisah hidup si seniman muda Ungki Prasetyo menjadi Secangkir KafeinISME.

Melukis Jalan Hidup

Hari Jumat, selepas olahraga di bekas kantor semasa bekerja sebagai juru ketik berita saya sempatkan datang ke rumahnya di Dagaran Palbapang Bantul. Kunjungan pertama kali ke rumahnya diwarnai dengan tragedi kesasar. 

Benar apa yang pernah dikatakan Yuki, bahwa ia sudah mempercayakan hidupnya menjadi pelukis. Dinding teras rumah menghadap bentangan hijaunya sawah menjadi saksinya. Sekitar empat karya terpajang bak ruangan pameran. Pigura-pigura lukisan tersebut menjadi pembeda dengan rumah yang ada di sekitarnya. 

Melukis memang bukan impiannya sejak kecil. Perkenalannya dengan seni pun bisa dibilang karena tidak sengaja. Semua bermula ketika ia lulus SMA. Melihat teman-temannya sudah kuliah membuatnya sedikit gundah. Mau ngapain ini? Jika melanjutkan sekolah maka butuh banyak biaya. Sedangkan jika bekerja mau kerja jadi apa dan di mana ? Dua pilihan yang membingungkan baginya. 

Hingga akhirnya sebuah ajakan Yuki teman akrab semasa SMA membuat asanya untuk sekolah ke jenjang universitas kembali membara. Berbekal brosur kuliah ia coba sodorkan ke sang bapak, dan tanpa perlu menunggu lama proposal tidak resmi pun disetujui

“Mbiyen nek ra salah biaya kuliah ning ISI 600 ribu, karo bapakku langsung OK,” ujarnya.

Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menjadi kawah candra dimuka tempat menempa keahliannya. Sejak itulah ia mulai aktif di dunia seni. Selama ia digembleng menjadi seorang profesional, kemampuannya terbilang cemerlang. Seringkali ia mendapat undangan untuk mengikuti pameran. Ketika ditanya tentang capaian terbesarnya saat itu, pameran di Jakarta lah yang ia rasa megah. 

“Yo ming lukisane wae sing tekan kono (cuma lukisannya saja yang sampai sana), wong modale wae pas-pasan huehehe,” tuturnya mengingat kejadian kala itu.

Belajar Sambil Bermain

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline