"Masih banyak jalan yang manis untuk melakukan gerakan literasi visual. Film G30s harus dipandang dalam perspektif literasi visual, bukan kemudian ditarik-tarik dalam ranah politik dan militer. Apalagi dilempar bebas ke ruang-ruang publik yang nyaris tidak pernah tercerahkan akan gerakan literasi visual."
Mungkin ada benarnya, ketika NU dan KPAI memberi nasihat secara tidak langsung kepada Pemerintah dan Militerperihal rencana nobar film G30s. Terlepas dari alasan yang kompleks dan rumit yang diadukan, nasehat tersebut setidaknya bermuatan memuliakan.
Respon bringas, mengapa?
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa G30s merupakan tragedi kemanusiaan. Pascaperistiwa G30s, bangsa inipun tidak henti-hentinya melakukan rekonsiliasi dengan pendekatan kearifan. Tentu tujuan mulianya adalah agar generasi nanti ini tidak terbebani oleh dosa sejarah di kemudian.
Hal menarik yang dilakukan almarhum Gus Dur patut kita jadikan cerminan tentang bagaiman kita mensikapi tragedi kemanusiaan tersebut. Gus Dur melakukan dua hal, yaitu rekonsiliasi sekaligus menggelar konflik integratif internal. Rekonsilisasi yang dilakukan Gus Dur adalah meminta maaf kepada keluarga korban terjadinya G30s. Dan konflik integratif yang dilakukan Gus Dur adalah membangun komunikasi dengan generasi muda agar dikemudian tidak memikul dosa sejarah kemanusian itu.
Hal menarik juga terjadi di pemerintahan sekarang. Hal menariknya bukan karena Pak Jakowi melakukan seperti apa yang dilakukan Gus Dur, yaitu ingin melakukan gerakan literasi visual.
Memang prasyarat melaukkan gerakan literasi visual, harus ada objeknya. Hanya saja objek visual kebetulan memiliki relasi terhadap konstruksi sosial selama ini yang cenderung sangat sensitif, yaitu film G30s. Beberapa lansiran berita mengabarkan bahwa di barak militer, dalam waktu dekat akan ada pemutaran film G30s. Tentu kabar ini seakan kontroversial karena selama ini ada kecenderungan bahwa pascamenonton film tersebut, ada pihak yang dipandang keji dan mungkar.
Jikalau memang pemerintah dan atau militer memiliki niatan mulia untuk melakukan gerakan literasi visual dalam perjalanan politik bangsa Indonesia ini, alangkah baiknya diawali dengan strategi kebudayaan dalam membangun daya kritis dalam literasi sejarah politik bangsa kita ini. Karena bagaimanapun, pemerintah dan militer tidak cukup mapan dalam mengendalikan literasi visual. Mengapa? Karena sangat rentan. Bayangkan saja, apa pantas pemerintah yang hasil politik akan tetap independent dalam menafsirkan film hasil politik masa lalu? Begitu halnya dengan militer. Lebih baik pemerintah dan militer tidak jalan sendiri dalam melakukan gerakan literasi visual. Jangan sampai jauh api dari panggang, apalagi terkesan bringas ketika menyampaikan tujuan kegiatan, walaupun kegiatan itu memuliakan.
Gerakan literasi visual
Kabar hoaks, penyataan palsu, saksi palsu, dan mengingkari janji, merupakan karakter buruk bangsa kita yang harus kita lawan. Mengapa? Karena semua itu tidak mencerahkan dimasa yang akan datang. Untuk itulah, dengan kemajuan teknologi dan informasi visual yang tidak terbendung ini, perlu adanya tindakan nyata untuk merawat kebinnekaan dengan jalan literasi visual.
Hal sederhana dalam melakukan gerakan literasi visual adalah berkata jujur, bersikap arif, dan bertindak memuliakan semua manusia, ketika kita berada di ruang publik maupun keluarga. Kabar bohong dan pencitraan memang lekat dengan strategi politik. Namun perlu diingat, apakah kita mau memiliki sejarah strategi politik yang picik.