Dalam benak saya, kenapa hingga sekarang tidak ada rumput udara. Padahal rumput tanah dan rumput air sudah kita kenal sejak lama. Padahal ketiga ruang itu, udara-air-udara, benar-benar ada kenyataannya. Apakah ketiadaan rumput udara benar-benar tidak ada? Atau karena kelemahan pengetahuan manusia dalam mengamati keberadaan-nya? Atau memang benar-benar tidak ada karena memang tidak diramalkan kehadirannya di jagat raya? Atau karena kegagalan evolusi rumput yang rapuh dalam melawan hukum alam, gagal beradaptasi, atau buntunya rekayasa ilmu pengetahuan, sehingga rumput tidak mampu hidup di udara?
Dahulu, rumput sangat dekat dengan ternak. Namun sekarang, rumput hanya tumbuh di lahan para tuan tanah yang tidak dapat dijamah oleh ternak dan bocah angon. Rumput telah menjelma menjadi privat proverty, bukan lagi common porverty. Para peternak kecil semakin bingung, dan lebih bingung karena rumput yang hanya bisa tumbuh di tanah terancam menjadi komoditas musiman yang tidak tentu.
Ruang tumbuh rumput semakin dihimpit oleh bangunan rumah. Pematang sawah semakin kecil dan tidak lagi menjadi ruang endemik bagi rumput karena populasi semakin meledak, namun disisi lain persawahan semakin diburu investor untuk mendirikan pabrik. Mereka memburu sawah, karena lokasi sawah yang strategis. Akses jalan terbuka sekaligus terhubung dengan kantong pemukiman dan fasilitas umum. Sungguh suatu rekayasa nilai luhur masyarakat agraris yang agung, namun sayang kita tidak mampu menginterpretasi suatu warisan agraris itu. Terlebih sawah sekarang seakan tidak henti sebagai tempat perkembangbiakan komoditi pasar. Jikapun ada rumput di sana, pakanan yang digemari ternak ini harus siap-siap disemprot dengan gulmatida.
Bocah angon jumlahnya semakin menyusut seperti keberhasilan obat pelangsing dengan pengikut setia kaum urban. Bocah tidak lagi mengenal rumput teki, apalagi rumput tuton dan rumput laron atau entah apa namanya. Mereka lebih berorientasi menjadi penjual pulsa, jasa penagih, hingga pegawai negeri. Orientasi menjadi bocah angon telah punah seiring dengan hilangnya spesies hewan purba. Padahal bocah angon adalah relasi kuat sebagai pelestari lingkungan yang teruji beredaan dan fungsinya. Sebuah cara pandang yang telah menjadi kenangan terindah, namun sayangnya sedikit bahkan tak satupun yang mengingatnya.
Jika bocah angon masih ada, itupun tergolong lansia. Mereka sengaja dipensiunkan, mereka dipaksa untuk tidak membuat cetakan baru, sebut saja generasi baru bocah angon. Ruang gerak dan kreatifitas mereka terpaksa berhenti. Keputusan itu sungguh rasional karena menggembala ternak sama saja berhadap-hadapan dengan penjara. Terlebih sekarang, semua gunung nyaris dibongkar isinya dan materialnya. Rumput hijau di gunung hanya tersisa dalam bentuk langgam bocah angon saja. Menggembala ternah telah menjadi pekerjaan beresiko. Sungguh suatu ramalan yang jarang diperdengarkan para penutur sebelumnya.
Apakah kita tidak pernah sadar dengan pembelajaran akan filsafat rumput yang telah bersemanya sejak dahulu kala? Rumput adalah ikon ekonomi kerakyatan. Rembesan kesejahteraan untuk bocah angon tidak lagi terasa. Jika dahulu bocah angon mampu membangun rumah, membeli sawah, sangu untuk luru ilmu, karena dari upah angon berupa ternak. Namun sekarang tidak berlaku. Gaya hidup masyarakat peternak agraris semakin hilang pengikutnya. Mereka tidak lagi mampu mengembangbiakkanternaknya, karena rumput semakin langka dari kehidupan nyata bahkan telah menceraikan diri dari indahnya mimpi-mimpi malamnya.
Ideologi rumput tidak lagi menjadi inspirasi cara pandang alternatif dalam mewujudkan masyarakat yang makmur gemah ripah lohjinawe. Ideologi rumput tidak lagi menjadi alternatif dalam membebaskan diri akan kemiskinan dan ketidakberdayaan sosial. Tumbuh dimana saja, liar, bebas, dan bermanfaat untuk ternak, tidak lagi menjadi aliran pikir saat ini dan dikemudian.
Kelangkaan rumput semakin mendera hingga ke relung-relung yang dahulu tak terjamah oleh firasat. Ritus hidup semakin jauh dari berbaikan gizi sosial karena gizi masyarakat adalah tanggung jawab para pejabat yang kemudian suka bohong walau selalu mengumbar omong. Jika dahulu, saat kenduri ritus kelahiran, sunatan, kawinan, hingga kematian, selalu menebar suguhan menu gizi yang menantang, namun sekarang tidak. Bagaimana mau potong kambing, sapi, atau bahkan kerbau? Karena petani sekarang sudah tidak lagi mengembangbiakkan ternak-ternak di atas. Kedaulatan gizi sosial semakin langka seiring hengkangnya rumpat di pematang, di sudut-sudut makam umum, dibantaran sungai, hingga di altar pegunungan. Sebuah pagelaran filsafat rumput besar-besar telah runtuh dalam kehidupan sosial.
Kepekaan kita dalam menjaga kelestarian rumput dapat dilihat ketiadaan undang-undang tentang rumput. Para penikmat jabatan di teras wakil rakyat dan penguasa, tidak lagi tertarik dengan rumput. Jika ada, hanya sebatas proyek rumput di altar serta taman-taman yang penuh dengan kebohongan. Rumput bagi mereka hanya sebagai komoditi seni, bukan lagi menjadi komoditi ekonomi kerakyatan. Gagasan untukmelahirkan tanah tidur pada tanah bengkok di perdesaan sungguh mimpi di siang bolong. Sangat tidak mungkin tanah bengkok ditidurkan, kemudian tumbuh rerumputan yang siap dipanen peternak dan bocah angon. Sangat tidak mungkin tanah bengkok menjadi tempat ngarit apalagi zona untuk penggembala. Karena tanah bengkok telah dibarter dengan suap ketika suksesi pengangkatan perangkat desa.
Mimpi hadirnya rumput udara adalah obat mujarat sekaligus hadir dalam nuansa yang mustajab, ketika rumput hanya menjadi pemilik klub sepakbola dan hotel berbintang. Suatu saat bocah angon akan memimpikan bahwa rumput yang habibatnya di udara benar-benar ada. Bocah angon akan berdaulat hidupnya. Diatas rumah kayu dan genting daun aren, di atas rumahnya tumbuh rumput yang melawan arus hukum alam sebelumnya. Mereka (bocah angon) dapat mengembangbiakkan ternaknya dengan beranak pinak untuk mencukupi gizi buruknya, untuk biaya luru ilmu, hingga mampu berhijrah dari bocah menjadi manusia sebenarnya. Bocah angon tidak lagi memikirkan panasnya terik matahari. Bocah angon tidak lagi memikirkan sengatan radiasi yang mengancam genetik nilai-nilai luhurnya. Dan pada saat itulah, bocah angon benar-benar menjadi memayu hayuning bawono.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H