Literatur tentang galangan kapal rembang, dapat dilacak pada laporan penelitian Salim (2010) dan Slamet (2010). Literatur ini dapat dibaca pada perpustakaan pascasarjana undip semarang. Salim melaporkan, galangan kapal di rembang pertama kali ada di desa dasun lasem. Namun slamet berbeda, galangan kapal rembang pertama kali ada di desa sarang, sendang mulyo, sarang meduro, dan kalipang. Menurut salim, galangan kapal yang ada di desa dasun lasem itu dapat dilacak pada website kitlv. Untuk menguatkan pendapatnya, salim menyertakan gambar galangan kapal kuno dan menghubungkan penjelasan historis tentang pusat dermaga jawa yang ada di rembang ini. Menurut salim, rembang memiliki tarikan kejayaan maritim di masa lampau. Rembang kala itu menjadi dermaga penting di jawa. Kejayaan itu, menurut salim, dapat dilacak dari dinamika perdagangan sejak kerajaan majapahit, demak bintoro, pajang, mataram islam, hingga kolonial belanda. Salim menambahkan, sejak abad 12 sampai dengan abad 15, sudah banyak pedagang asing yang singgah di rembang. Hingga puncaknya, pada abad 19, pelabuhan lasem menjadi pusat utama dari kegiatan ekspor dan impor. Kala itu, rembang telah mengekspor produk unggulan diantaranya kayu jati, tembakau, kopi, tebu, dan garam. Sedangkan menurut slamet, galangan kapal rembang pertama kali ada di kawasan timur rembang dapat lacak dengan keberadaan galangan kapal yang hingga saat ini masih produksi. Adapun galangan kapal yang di dasun lasem sudah tidak ada keberadaannya. Walapun secara pasti slamet belum bisa membuktikan kapan galangan kapal rembang itu ada, namun slamet secara rinci telah membagi periode dinamika keberadaan galangan kapal di rembang. Slamet mengklasifikasikan pusat galangan kapal rembang terbagi dalam dua sentra wilayah. Sentra galangan kapal pertama ada di desa sarang. Selanjutnya sentra galangan kapal rembang yang kedua, ada di di desa sarang meduro, sendang mulyo, dan kalipang. Sentra galangan kapal sarang, menurut slamet, talenta menjadi tukang galang kapal didapatkan secara turun temurun sejak tahun 1800-an. Kapal saat itu diproduksi atas dasar kebutuhan. Namun dalam perjalanan waktu, kapal kemudian diproduksi secara besar-besaran untuk mencukupi permintaan pemesan yang dimulai pada tahun 1979-an. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah penggalang kapal di sarang hingga tahun 2008, hanya tinggal 14 orang pengusaha penggalangan kapal. Selanjutnya sentra kedua dari galangan kapal yang ada di kawasan timur rembang ini, menurut slamet dimulai tahun 1979, dengan produksi kapal atas kebutuhan. Tidak lama kemudian, hingga tahun 1994, para penggalang kapal di wilayah tersebut telah melayani pesanan pembuatan kapal. Sejak tahun 1994 hingga tahun 1998, pengusaha galangan kapal mengalami kelangkaan modal. Namun tidak lama kemudian, tahun 1998, pengusaha galangan kapal di kawasan sentra kedua ini, mengalami masa kejayaan. Apa yang disampaikan dari kedua peneliti, baik salim maupun slamet, tentu telah menyumbangkan derajat motivasi masyarakat rembang dalam meneguhkan jatidiri masyarakat rembang menjadi masyarakat berbasis kelautan. Terlepas dari keakuratan studi yang dilakukan salim dan slamet, kedua-duanya memiliki kekuatan akan kebenarannya masing-masing. Pendapat salim yang menyatakan bahwa galangan kapal rembang pertama kali adalah di desa dasun lasem, telah dikuatkan dengan bukti-bukti sejarah masa lalu, terlebih-lebih telah ditemukan situs kapal yang diduga telah digunakan berlayar sejak abad ke 7 dan 8 atau setara dengan pembangunan candi borobudur. Situs ini ditemukan tepatnya di kawasan tambak garam punjulharjo yang tidak jauh dari lasem. Pandangan slamet pun juga demikian. Galangan kapal yang ada kawasan kecamatan sarang, telah dikuatkan dengan adanya perusahaan galangan kapal yang hingga saat ini masih aktif membuat kapal, juga kawasan tersebut sampai sekarang merupakan basis dari pemukiman nelayan yang piawai mengendalikan kapal dan menaklukkan gulungan ombak lautan. Gbr. Galangan Kapal Rembang yang ada di daerah kecamatan Sarang (Foto: videografismapa, 2012) Berangkat dari dua ulasan peneliti di atas, rembang terbukti memiliki modal sosial yang sungguh berharga, yaitu talenta dalam membuat kapal. Talenta ini terbukti masih eksis hingga sekarang, terhitung sebelum tahun 1930-an hingga sekarang.Talenta yang demikian sudah pantasnya untuk dikembangkan sedemikian rupa, agar pengusaha dan tukang galangan kapal mampu menorehkan gagasan dan kreatifitasnya berdasarkan aliran darah sebagai masyarakat berbasis kelautan, dalam hal pergalangan kapal. Galangan kapal bukan hanya sekedar mencukupi kebutuhan akan sarana tangkap ikan dilaut oleh para nelayan. Jika hanya sekedar pencukupan kebutuhan itu saja, para pemulia galangan kapal tidak harus eksis, yang penting kapal bisa dimiliki walaupun dengan impor. Namun jauh dari itu, galangan kapal merupakan simbol kejayaan maritim rembang. Kemandirian dan kedaulatan menjadi masyarakat kelautan, salah satunya ditandai dengan penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam membuat kapal. Saya sendiri merasa bersalah, karena sejak kecil, saya memiliki pandangan, bahwa berbagai hal yang berhubungan dengan nelayan itu bukanlah sesuatu yang perlu diunggulkan. Bahkan ada stereotip bahwa hal ihwal yang berhubungan dengan nelayan itu tidak terhormat. Namun, saat ini saya harus mengakui, bahwa identitas rembang itu adalah hal ihwal yang berhubungan dengan kelautan. Kita punya laut, kita punya nelayan, dan kita punya penggalang kapal. Dibutuhkan sentuhan yang lembut, kejayaan maritim rembang akan menjadi sebuah rangkaian dinamika ekonomi kelautan yang berkelanjutan, yang mana telah terbukti kuat dalam menghadapi himpitan permasalahan hidup dari dulu hingga sekarang, dan tentu hingga terciptanya tatanan masyarakat rembang yang kita bersama idam-idamkan. Semarang, 24 November 2012 Catatan tambahan: Tulisan ini merupakan buah dari kunjungan penulis di perpustakaan pascasarjana undip semarang. Pada saat penulis melakukan studi literatur perihal karya tulis yang sedang penulis garap, pada saat membuka-buka katalog tesis di gedung jalan imam bardjo no 5 yang tidak jauh dari gedung bank bi semarang, secara tidak sengaja penulis membaca judul tesis yang ada kata rembang-nya. Tiga judul tesis yang telah memberi daya tarik penulis untuk membaca. Pertama, tesis yang tentang gunung butak gunem yang ditulis oleh mas taufieq, kedua, kebijakan kelautan dan perikanan yang ditulis oleh mas salim, dan yang ketiga tentang perkembangan idustri kapal yang ditulis oleh mas slamet. Tentu saja tiga karya ilmiah ini tidak sempat saya baca dari lembar perlembar. Saya hanya membaca yang penting-penting saja, itupun ukuran penting menurut saya. Karena saya harus membaca beberapa hasil studi penelitian pendukung karya tulis saya. Menurut saya, tiga karya ini memiliki kontribusi besar dalam membangun rembang. Dua karya, karya mas slamet dan mas salim, berperan dalam membangun ekonomi kelautan. Sedangkan satu karya lagi, mas taufieq, berperan dalam menjaga kelestarian alam rembang. Adapun karya mas taufieq, belum sempat penulis singgung dalam tulisan ringan ini. Penulis akan sempatkan untuk menyinggung karya mas taufieq di lain waktu. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk saya dan para pembaca semuanya. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H