Lihat ke Halaman Asli

Polemik Usia Menikah Perempuan

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menyalurkan kebutuhan seks, pencukupan kasih sayang, strategi menjauhi kepunahan, hingga pintu masuk pembagian warisan, merupakan fungsi terpenting sebuah keluarga. Agar institusi keluarga ini tidak mengalami disfungsi, setiap masyarakat memiliki keunikan dengan ditunjukkan beranekaragamnya norma sosial yang telah tertradisikan.

Begitu vital fungsi sebuah keluarga, negara pun ikut turun tangan dalam menjaga menjaganya dengan paksaan kaidah melalui UU perkawinan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, akademisi, hingga lembaga sosial, memainkan perannya dengan tujuan yang sama. Sehingga wajar jika hal ihwal yang bersangkutpaut dengan keluarga, mereka sangat sensitivitas dalam meresponnya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perang gagasan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengadendakan sidang uji materi tentang batas usia nikah perempuan.

Lantas bagaimana sepatutnya pensikapan kita terhadap uji konstitusi batas kepantasan usia nikah ini? Gagasan kearifan apa yang sepatutnya kita hadirkan? Karena jika tidak hati-hati dalam memposisikan cara pandang, ketidakharmonisan hubungan sosial antar sesama akan terancam karena dalih ingin sama-sama memuliakan manusia.

Setidaknya ada dua kelompok saling berseteru perihal tafsir batas kepantasan usia nikah. Pertama, kawan-kawan dari PHDI yang didukung KPAI meminta MK merubah pernikahan dilangsungkan ketika berusia 18 tahun. Kedua, ormas besar PBNU dan Muhammadiyah serta MUI sepakat pernikahan dapat dilangsungkan saat usia 16 tahun. Dua kelompok terlihat sama-sama kuat dalam menyuguhkan alasan. Melindungi hak-hak anak hingga strategi mengurangi tanggungan negara merupakan alasan fundamental kelompok pertama. Sedangkan kelompok kedua mengusung misi menjauhkan pergaulan bebas dan perilaku perzinaan sebagai alasan krusialnya.

Sungguh sangat mulia sekali harapan yang diinginkan dari kedua kubu yang berseteru disidang MK. Jangan sampai kemuliaan gagasan tersebut berujung pada penudingan bahwa kelompok pertama cenderung melegalkan pergaulan bebas dan perzinaan. Kita pun berharap tidak terjadi penudingan bahwa kelompok kedua sebagai perenggut hak-hak anak serta anjuran pemborosan anggaran negara. Negara sudah sepantasnya menjaga kehormatan gagasan dua kelompok tersebut.

Sebelum negara mengambil kearifan sikap tentang kaidah konstitusial batas usia perempuan diperbolehkan menikah tanpa multitafsir, hal yang terpenting adalah mengkaji relasi antara pergaulan bebas, perzinaan, perenggutan hak-hak anak, dan pemborosan anggaran negara terhadap lembaga keluarga.

Pada dasarnya setiap jenis kelamin sama-sama memiliki kesempatan untuk melakukan pergaulan dan mendapatkan ruang kebebasan. Dengan pergaulan, setiap perempuan dan laki-laki akan mendapatkan kualitas hidup yang diharapkan. Sehingga semakin tinggi kualitas pergaulannya, maka tinggi pula kualitas hidupnya. Lantas pertanyaannya adalah apakah negara telah menyediakan saluran pergaulan yang berkualitas? Jika negara belum menyediakan saluran tersebut, maka wajar jika hasil pergaulan laki-laki dan perempuan cenderung mendekati marabahaya. Jadi sangat tidak logis jika buruknya hasil pergaulan itu yang dipersalahan adalah umur perempuan.

Berikutnya adalah perihal kebebasan. Dalam konstruksi sosial, kebebasan merupakan puncak capaian dari strata sosial. Hal ini dapat dilihat semakin tinggi kelas sosial anggota masyarakat, cenderung dapat menikmati fasilitas sosial. Bahkan anggota masyarakat yang duduk dalam kelas tinggi, bebas untuk melanggar kaidah-kaidah yang telah menjadi kesepakatan. Sehingga sangat wajar jika para laki-laki dan perempuan berlomba mendapatkan kebebasan. Karena dengan kebebasan itu, hak-hak keistimewaan didapatkan. Berangkat dari cara pandang inilah, sudah saatnya kita mengkonstruksi ulang tentang hak-hak keistimewaan dalam sebuah strata sosial. Kita harus berani meredefinisi bahwa kebebasan bukanlah keistimewaan. Kita harus berani mengganti bahwa keistimewaan adalah tanggung jawab sosial. Sehingga semakin tinggi strata sosial seseorang, maka semakin tinggi tanggung sosial. Untuk itu, kunci dari persoalan kebebasan anak adalahkesediaan orang yang menduduki kelas sosial atas dalam melepaskan dirinya dari hak-hak istimewa. Berikan contoh anak-anak kita tentang tanggung jawab sosial. Sehingga anak-anak kita tidak memiliki orientasi hidup dalam mengejar kebebasan. Lagi-lagi tidak logis, jika sebuah kebebasan hidup itu diukur dari umur seseorang. Kebebasan adalah hasil sosialisasi yang dipertontonkan oleh generasi tua kepada generasi muda.

Selanjutnya adalah perihal zina. Zina merupakan cara mencukupi kebutuhan seks yang dikecam orang banyak. Kecaman ini berangkat pada akibat zina yang cenderung mendatangkan penyakit yang bermuara pada kematian yang tidak wajar. Pada dasarnya setiap masyarakat akan menerima kematian secara wajar. Contoh kematian secara wajar adalah mati pada saat usia tua. Usia tua dipandang telah memberi pengabdian yang setara kepada alam semesta. Sedangkan kematian tidak wajar adalah mati disaat usia muda atau anak-anak. Sehingga semua yang menyebabkan kematian muda (belum mengabdi alam semesta) akan dikecam semua orang. Karena perzinaan cenderung mengakibatkan datangnya penyakit yang mematikan seseorang sebelum mengabdi kepada alam semesta, maka cara mencukupi kebutuhan seks yang satu ini dikecam. Pertanyaannya adalah apakah ada obat yang dapat menyelamatkan kematian akibat perilaku mencukupi kebutuhan seks tersebut? Jika tidak ada obatnya, jawabnya adalah hal-hal apa yang mendorong anak-anak memiliki kebutuhan dalam mencukupi kebutuhan seks? Secara umum, faktor pendorong seorang anak lebih awal memiliki orientasi kebutuhan seks adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Perilaku anak yang jauh dari pencukupan kebutuhan afeksi keluarga adalah mencari pasangan yang puncaknya melakukan hubungan seks. Semakin sering anak-anak melakukan hubungan seks pada pasangannya, maka semakin tidak membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari keluarganya. Maka untuk mengatasi masalah hubungan seks pada anak-anak adalah meningkatkan fungsi lembaga keluarga dalam memberikan limpahan perhatian dan kasih sayang anggota-anggota keluarganya, bukan mereposisi dan melemahkan fungsi lembaga keluarga. Jadi salah sasaran jika mengatasi zina dihubungan dengan batas umurkapan seorang anak boleh menikah.

Kemudian apakah ada hubungan antara terpenuhinya hak-hak anak terhadap batas usia anak diperbolehkan menikah? Pada umumnya setiap anak ingin masa depannya terjamin. Jaminan masa depan diantaranya adalah jaminan tidak kelaparan, jaminan berobat saat sakit, dan jaminan mendapatkan pengasuhan saat usia lanjut. Untuk mendapatkan jaminan tersebut, pada umumnya didapat melalui proses belajar yang kemudian mendapatkan keahlian. Dengan keahlian yang dimilikinya, anak akan merasa nyaman dengan masa depannya. Namun dalam kenyatannya, tidak semua anak mendapatkan kesempatan belajar dengan baik. Sehingga sangat wajar jika para orang tua dan para anak (perempuan) melakukan jalan pintas yaitu menikah diusia belia. Karena dengan menikah diusia belia, ia berharap masa depannya ditanggung oleh suaminya. Untuk mengatasi agar orang tua tidak mendorong menikahkan anak-anak perempuannya diusia belia, dan untuk mengatasi agar seorang anak tidak memilih menikah diusia muda, negara harus menanggung masa depannya dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya setiap anak mendapat kesempatan belajar. Dengan belajar (dengan kurikulum dan pendekatan yang baik) anak-anak tidak akan hawatir akan masa depannya. Jadi sekali lagi, melindungi masa depan anak itu bukan menambah penantian kapan umur yang pantas ia melangsungkan pernikahannya, tetapi melindungi masa depan anak adalah memperjuangkan hak belajar mereka.

Dan yang terakhir, apakah ada hubungan antara pemborosan anggaran negara dengan usia muda saat melangsungkah menikah? Pemborosan merupakan penggunaan sumber daya yang tidak mendatangkan kemuliaan di alam semesta. Semakin boros perilaku warga negara, maka semakin terpuruk kemuliaan negaranya. Pertanyaan yang pantas kita ajukan adalah siapa yang menggunakan anggaran negara dengan boros? Jawabnya adalah koruptor, bukan jumlah anak sebagai warga negara. Anak adalahgenerasi penerus yang akan memuliakan negara. Sedangkan koruptor adalah generasi perusak yang akan meluluh lantakkan negara. Jadi tidak logis jika borosnya anggaran negara ini dihubungkan dengan batas umur anak diperbolehkannya menikah.

Berdasarkan kajian tentang pergaulan bebas, perzinaan, perenggutan hak-hak anak, dan pemborosan anggaran negara terhadap lembaga keluarga, ternyata tidak ada relasinya. Dan jika ada relasinya, maka relasi itu tidak kuat.

Untuk itu, sepatutnya kita mensikapi uji konstitusi batas kepantasan usia nikah perempuan ini dengan sikap yang arif. Seyogyanya kita tidak usah mengeksploitasi perempuan dengan dalih agama dan negara. Saatnya kita hadirkan gagasan kearifan tentang bagaimana kita memuliakan manusia dengan tanpa mendiskriminasikan jenis kelaminnya. Sudah saatnya kita menggunakan cara pandang yang mencerahkan. Bukan cara pandang yang mengancam kemuliaan manusia.

Mari kita bersama-sama (PBNU, MUI, Muhammadiyah, KPAI, PHDI, dan MK) membahas tentang saluran pergaulan anak yang berkualitas, memberi contoh tentang tanggung jawab hidup kepada anak, memberi perhatian dan kasih sayang kepada anak, memberikan kesempatan belajar anak dengan seluas-luasnya, dan berperilaku tidak korupsi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline