Keberadaan pandemi COVID-19 telah genap berusia satu tahun sejak ditemukannya virus ini secara perdana di Kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019 lalu. Berkat kecanggihan dan kedahsyatan virus jenis baru ini, penyakit infeksi saluran pernapasan ini berhasil tercatat sebagai pandemi hampir di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Berbagai aspek kehidupan masyarakat perlahan kian berubah, baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, bahkan kesehatan. Tak tinggal diam, pemerintah Indonesia gencar memberlakukan berbagai kebijakan baru demi beradaptasi dan survive di tengah kondisi sulit ini. Aneka kebijakan telah dicanangkan untuk mempertahankan roda perekonomian kehidupan khalayak. Jarak pembatas dirasa kian mempersulit ruang gerak kita hingga saat ini. Kita dituntut untuk senantiasa menjaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker. Manusia seolah-olah dipaksa mengikuti permainan virus ini. Tak ada pilihan lain selain mematuhi aturan-aturan baru itu. Melalui program #stayathome, kita dipaksa untuk melakukan semuanya dengan tetap di rumah saja. Lalu kalau begini terus, apa kabar dengan keadaan pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia?
Kedatangan COVID-19 telah menggilas pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia. Dilansir dari laman resmi United Nation World Tourism Organization (UNWTO) melalui unwto.org, disajikan kenyataan berupa data bahwa jumlah kedatangan internasional turun sebesar 72% selama sepuluh bulan pertama di tahun 2020. Hal ini terjadi akibat pembatasan jumlah wisatawan dan kepercayaan diri konsumen yang berkurang akibat hadirnya virus COVID-19. Meskipun angka ini terdiri dari dua digit saja, namun dampak yang dihasilkan sangat besar. Selain mampu menggiring pariwisata menjajaki tahun terburuk dalam sejarahnya, kerugian yang dihasilkan juga mencapai sekitar 935 miliar dollar AS dalam pendapatan ekspor pariwisata tingkat internasional. Atau singkatnya, lebih dari 10 kali kerugian di tahun 2009 yang disebabkan oleh krisis ekonomi global. Akibatnya, pariwisata tingkat global akan kembali ke level 30 tahun yang lalu! Miris, bukan?
Realitanya, kita bahkan tidak perlu terpaku pada keadaan pariwisata internasional untuk melihat kerugian sektor pariwisata akibat pandemi ini. Di lingkup nasional, dinas pariwisata Bali mencatat kerugian sejumlah Rp9,7 triliun tiap bulan, menjadikan total kerugiannya sebesar Rp48,5 triliun terhitung dari bulan Maret, sejak COVID-19 mulai benar-benar memengaruhi dinamika kehidupan di Indonesia, hingga Juli pertengahan tahun yang lalu. Angka ini, selain memengaruhi pendapatan regional Bali, juga secara signifikan memengaruhi ekonomi negara. Pasalnya, kontribusi devisa pariwisata Bali pada perekonomian nasional tahun 2019 ialah sebesar Rp75 triliun atau sebanding dengan 28,9% dari kontribusi seluruh sektor perekonomian.
Melihat kerugian yang begitu besar, keadaan ekonomi masyarakat yang masih saja terpuruk, serta kasus-kasus terjangkit yang sama sekali tidak berkurang bisa jadi membuat kita ragu akan usaha pemerintah untuk menghentikan pandemi global yang menjangkit parah di Indonesia ini. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain, berdasarkan data dari Worldometer (14/12/2020), kasus aktif Indonesia berjumlah 93.396 dari total kasus positif 623.309, menjadikan Indonesia peringkat satu di ASEAN sebagai kasus aktif terbanyak. Lalu, mengapa? Mengapa negara tetangga dapat menekan angka kasus aktif sedangkan kita tidak? Apa pemerintah tidak menganggap pandemi ini sebagai keadaan mendesak yang perlu segera ditangani?
Nyatanya, pemerintah telah melakukan banyak usaha yang terus di-upgrade agar sesuai dengan kondisi Indonesia. Pemerintah telah menggalakkan program Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan tetap merujuk pada keseimbangan sosial dan masyarakat. Keseimbangan ini harus bergerak dengan berkesinambungan, dengan membutuhkan kerja sama yang solid dari berbagai lapisan masyarakat. Kerja sama yang terbentuk antara pemerintah dengan pelaku ekonomi kreatif, misalnya. Beragam peraturan yang bersifat melindungi karya pelaku ekonomi kreatif adalah bentuk kerja sama yang baik antara kedua belah pihak. Relasi ini terjalin dengan baik melalui Kemenparekraf RI yang bersinergi dengan para pelaku ekonomi kreatif melalui beberapa program pelatihan, pelayanan, hinga bimbingan.
Di masa pandemi ini, berbagai program telah dikeluarkan pemerintah untuk membantu memulihkan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif sekaligus untuk menjaga angka kasus terjangkit COVID-19 tidak kian bertambah. Beberapa dari program tersebut adalah program Dana Hibah Pariwisata sebesar Rp3,3 triliun untuk membantu mempercepat proses pemulihan sektor pariwisata, Program "We Love Bali" yang merupakan kampanye peningkatan protokol kesehatan berbasis CHSE dan edukasi bagi pelaku usaha Pariwisata dan ekonomi kreatif serta masyarakat Bali, serta Program BISA (Bersih, Indah, Sehat, dan Aman) di empat destinasi wisata Bali. Program-program ini dilakukan untuk membangkitkan kembali sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang tengah sekarat dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Sehingga pada akhir tahun nanti, pemerintah sudah siap menghadapi gelombang liburan yang dapat dijadikan titik balik kemajuan ekonomi negara.
Ironisnya, hingga di penghujung tahun 2020 ini, upaya pembatasan jumlah wisatawan masih terus diberlakukan. Hal ini dikarenakan situasi COVID-19 yang tidak kunjung membaik. Entah karena pemerintah yang kurang tegas dalam memberlakukan kebijakan atau masyarakat yang terlalu bebal untuk patuh pada aturan. Dalam satu hari, laju pertambahan kasus hingga mencapai ribuan. Pemerintah mengonfirmasi penambahan kasus sebanyak 6.848 pada Senin, 21 Desember kemarin. Tidak hanya terjadi pembatasan jumlah wisatawan, tetapi penghujung tahun ini juga dibarengi dengan pemangkasan libur panjang akhir tahun. Pekan liburan yang dijadwalkan dari tanggal 24 Desember 2020 hingga 3 Januari 2021 dipangkas, sehingga pada tanggal 28, 29, dan 30 Desember tidak ada libur dan tetap masuk kerja seperti biasa. Pemangkasan ini dilakukan pemerintah dengan harapan akan dapat menekan angka penambahan kasus COVID-19 karena warga tidak akan dapat bepergian untuk liburan yang dalam jangka waktu yang lama.
Padahal, momentum hari libur perayaan Hari Natal bagi umat Kristiani dan perayaan akhir tahun bagi seluruh lapisan masyarakat ini dapat dijadikan sebagai peluang dan kesempatan emas untuk memperbaiki sektor pariwisata serta ekonomi kreatif. Pasalnya, akan ada banyak wisatawan yang berkunjung dan berwisata di berbagai belahan dunia. Indonesia telah memberlakukan beberapa persyaratan yang cukup ketat ketika hendak bepergian. Misalnya, PT KAI atau Kereta Api Indonesia yang mewajibkan menyertakan surat hasil rapid-test antibodi IgG dan IgM yang non-reaktif bagi para penumpang yang hendak bepergian dengan jarak menengah-jauh. Biasanya, rapid-test ini dikenakan biaya dengan kisaran Rp85.000,00 sampai Rp150.000,00. Selain itu, para penumpang diwajibkan senantiasa menggunakan masker dan face shield serta menerapkan jaga jarak minimal satu meter. Seperti biasa, sebagai bentuk persyaratan operasional, penumpang juga melalui tahapan pengecekan suhu dan bebas dari penyakit batuk, flu, dan demam.
Kesempatan emas untuk mengembalikan keuntungan ekonomi di momen libur akhir tahun ini seolah seketika menghilang begitu saja akibat diberlakukannya rapid-test jenis baru, yakni rapid-test antigen. Rapid-test ini membuat penumpang merogoh kocek lebih dalam karena harganya yang berkisar Rp250.000,00 untuk Pulau Jawa dan Rp275.000,00 untuk luar Pulau Jawa. Hal ini semakin membuat para wisatawan yang hendak berlibur menjadi berpikir dua kali bahkan lebih. Tidak hanya karena memberatkan pengeluaran untuk mereka yang hendak liburan untuk melepaskan penat yang telah menumpuk sepanjang tahun, aturan tambahan ini juga serasa memberatkan diri para wisatawan. Liburan yang tujuannya untuk bersenang-senang, saat dihadapi dengan aturan baru yang merepotkan ini, malah merasa menjadi beban tambahan, sehingga banyak wisatawan yang membatalkan rencana liburan mereka karena tidak ingin menghadapi semua prosedur tersebut.
Walaupun pemerintah memang memberlakukan kebijakan ini sebagai langkah untuk menekan peningkatan kasus aktif COVID-19, kondisi pariwisata dan ekonomi kreatif yang diprediksi akan bangkit akhir tahun ini malah menjadi semakin terputuk. Jika kesehatan warga harus dibayar dengan kerugian ekonomi pada sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, bisa dikatakan bahwa tidak mungkin sektor ini akan bangkit jika COVID-19 belum menghilang dari Nusantara. Meski berita vaksin COVID-19 telah berkumandang dan beredar di sosial media, nyatanya hal ini belum mampu meningkatkan kepercayaan wisatawan. Alhasil, salah satu sektor yang paling terpengaruh oleh krisis yang tidak terlihat ini, adalah pariwisata dan ekonomi kreatif.
Selama beberapa bulan terakhir ini, pandemi COVID-19 telah memangkas sekitar 50 juta pekerjaan pada sektor pariwisata dunia. Salah satu yang paling banyak terkena dampak akibat pandemi COVID-19 adalah pekerja pariwisata di benua Asia. Akibat diberlakukannya rapid-test jenis baru membuat para wisatawan mancanegara lebih memilih untuk berwisata di dalam negeri dan tidak melakukan perjalanan ke luar negeri. Dampak pandemi COVID-19 juga dirasakan oleh kalangan pekerja pariwisata di tanah air. Pada awalnya terdapat sekitar 50 juta pekerja pariwisata tetapi saat ini hanya tersisa sekitar 13 juta orang.