Tenang saja, saya tidak akan meneruskan corat coret mengenai JKT48, karena sudah cukup panjang lebar keliling saya mencoba untuk sedikit mencoretkan pemikiran saya atas hobi saya ngidol. Dua corat coret sudah cukup rasanya bagi saya untuk berbagi dengan coreters sekalian mengenai dunia ngidol, dan saya pun memutuskan untuk move on (bukan berarti saya berhenti ngidol lho yah) dan mencoba untuk mencoret-coret topik yang sampai detik ini saya rasa masih sangat hangat dipergunjingkan. Yah apalagi kalau bukan perhelatan Final Piala Presiden yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi dari sekarang, yang mempertemukan jawara dari kota pempek dengan jagoan dari kota tape. Ironis memang, ditengah bencana asap dan kebakaran hutan yang sedang menimpa saudara-saudara kita di pulau Sumatera dan Kalimantan, media justru lebih kencang memberitakan pertarungan dua tim sepakbola lokal yang akan dilakukan di ibukota. Tapi yah apa mau dikata, inilah ibukota, hal sepele bisa jadi besar dan hal besar bisa jadi spektakuler. Gubernur Jakarta marah-marah bisa masuk headline berita nasional selama 7 hari 7 malam, tapi bayangkan kalau Gubernur Papua yang marah-marah? Saya yakin bahkan di kompasiana saja mungkin tidak akan nongol tuh beritanya.
Segala bentuk kekhawatiran dan keraguan sempat menghantui banyak orang dari berbagai kalangan dan strata sosial di Jakarta menjelang acara puncak Piala Presiden nanti. Pemikiran-pemikiran seperti “ribut tidak ya?”, “wah bisa rusuh nih?!”, “bisa ada korban jiwa nanti” bukannya tidak mungkin pernah sekelebatan muncul di otak kita semua, termasuk saya sendiri. Tapi berhubung saya fans JKT48, yang saya khawatirkan justru keselamatan member JKT48 mengingat lokasi teater JKT48 yang berlokasi sangat dekat dengan GBK, yaitu gedung FX. Absurd memang, tapi bisa jadi resah gelisah semacam itulah yang mungkin sempat melintas di benak saya dan juga mungkin, coreters sekalian. Rasa gelisah tersebut semakin bertambah ketika saya membuka internet dan membaca berita mengenai insiden penyerangan kendaraan berplat D, penyerangan terhadap bus Primajasa, kekisruhan antar suporter, dan sebagainya. “Tanding saja belum, sudah mulai ribut, apalagi nanti sudah kick off?” itulah yang menjadi pertanyaan saya. Tidak perlu cenayang atau peramal sekelas Nostradamus untuk memprediksi potensi ribut nanti, karena memang indikasinya sudah ada. Ibarat penyakit, gejala-gejalanya sudah bermunculan, dan keputusan sepenuhnya berada di tangan penderita, apakah akan membiarkan gejala tersebut semakin menjadi-jadi, atau bertindak sesegera mungkin untuk mengobatinya.
Pertanyaannya adalah “siapa pasiennya?”, “siapa dokternya?”, dan “apa obatnya?”. Hanya ada satu jawaban, yaitu kita. Yah betul, Kita-lah pasien-nya, kita-lah dokter-nya, dan kita pulalah yang memiliki obatnya.. Lantas, apakah penyakitnya? Sukar untuk menjelaskan dan mencari padanan nama yang tepat, namun saya pribadi menyebutnya dengan penyakit “cinta ribut dan takut damai”,yah betul memang, plesetan dari “cinta hidup dan takut mati”. Penyakit ini tidak hanya berwujud pertengkaran fisik di dunia nyata, bahkan di dunia maya pun mungkin seringkali kita menemui gejalanya, banyak sekali yang ribut hanya gara-gara idolanya, presiden idamannya, atau gubernurnya diganggu oleh komentas-komentar miring. Segala bentuk makian, mulai dari segala jenis hewan, hingga aneka bentuk kotoran akan saling bermunculan silih berganti dengan alasan pembelaan atau harga diri.
Saya akan cukup memahami apabila yang diusik adalah hal yang bersifat prinsipil dan merupakan moral dasar manusia, kepercayaan dan orang tua misalnya. Siapa sih diantara kita yang tidak akan marah kalau kota suci kepercayaan kita diusik? Atau rumah orang tua kita dilempari batu? Saya yakin secara refleks tanpa pamrih kita akan langsung balas menyerang, bahkan kalau perlu dengan pembalasan berkali-kali lipat. Tapi klub sepak bola? Jakarta bukanlah kota suci salah satu klub sepakbola ibukota, dan para suporter klub sepakbola lainnya bukanlah kaum kafir yang diharamkan kedatangannya ke ibukota. Kecuali kalau memang klub sepakbola tersebut sudah menjadi agama yang lantas mengikrarkan kalau Jakarta adalah kota suci mereka serta menganggap suporter fans sepakbola lainnya adalah kaum kafir yang diharamkan memasuki kota suci mereka. Penyakit “cinta ribut takut damai” ini mungkin bisa jadi sudah bersemayam di diri kita semua, termasuk saya pribadi yang ada kalanya merasa kesal kalau ada yang mencoba mendefinisikan JKT48 sebagai girlband dan bukannya idol group. Tapi seperti yang saya sudah coretkan sebelumnya, obatnya sudah kita miliki dan keputusan sepenuhnya berada di tangan kita sebagai pasien sekaligus dokter, apakah kita mau membuat obat tersebut dan meminumnya, atau justru akan membiarkan penyakit tersebut semakin parah hingga tak tersisa lagi secuil pun keinginan dalam diri kita untuk mau hidup dalam kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H