Lihat ke Halaman Asli

Corat Coret Wota

Diperbarui: 16 Oktober 2015   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“jadi lu udah resmi jadi wota nih?”

“hii, surem lu beneran jadi wota yak ?”

“ngapain lu ng-wota? Ntar dijauhin cewek-cewek luh”

 

Apa sih maksud dialog di atas? Mungkin sulit dimengerti bagi Anda sekalian yang sama sekali belum pernah mengetahui atau mengenal yang namanya dunia per-idol-an. Yak, dialog di atas hanya sepenggal dialog nyata antara saya dengan teman-teman saya begitu mereka mengetahui bahwa saya mulai nge-fans dengan JKT 48. Terkesan merendahkan? Memang, tapi itulah yang membuat saya merasa “terpanggil” untuk melakukan corat-coret ini. Oh iya, kalau kalian bertanya-tanya mengapa saya menyebut tulisan ini “corat-coret”, ya memang ini hanyalah sekadar corat-coret yang jauh dari kaidah penulisan yang baik dan benar. Anyway, Mungkin sebelum saya memasuki inti dari corat-coret ini, ada baiknya kalau saya sedikit memberi sedikit pemahaman bagi Anda sekalian agar nantinya tidak merasa bingung dengan corat-coret saya ini.

Apa itu Wota? To the point saja, Wota adalah sebutan untuk para fans idol group yang berada di Jepang sana, bukan hanya AKB 48 saja yang mungkin selama ini diketahui orang banyak. Itu secara definisi lho ya, tapi saya pribadi malas berdebat mengenai sebutan wota dan fans dari JKT48, toh saya nggak keberatan disebut wota. lagipula kurang afdol rasanya kalau nge-fans tapi tidak punya sebutan. Jadi kita biarkan saja pendapat umum yang sudah terlanjur beredar bahwa wota = fans JKt 48, titik. Terus seringkali juga muncul pertanyaan, "Kenapa sebutannya idol group dan bukan girlband?" Nah, Ini bisa Anda Googling sendiri, dan saya yakin ada puluhan atau bahkan ribuan definisi dan argumen kontroversi untuk bisa membedakan keduanya. Saya malas menjelaskannya, toh ini kan Cuma sekadar corat-coret, dan seperti yang saya janjikan di paragraf sebelumnya, sedikit pemahaman, bukan urusan saya kalau ada yang kurang atau tidak paham.

Kembali ke inti corat-coret, dialog-dialog yang meremehkan dan penuh sindiran tersebut bukanlah hal yang tidak saya sadari sebelumnya, saya justru menginginkan munculnya reaksi-reaksi tersebut. Bagi saya itu justru menyenangkan, dan bisa dibilang menjadi semacam guilty pleasure ketika saya menerima reaksi-reaksi semacam itu. Karena dengan adanya reaksi tersebut, saya justru bisa memberikan penjelasan kepada mereka dengan harapan penjelasan dari saya bisa memunculkan  sedikit ketertarikan akan hobi saya, alias ikutan ngidol a.k.a ikutan jadi wota. Tapi itu saya lho ya, entah bagaimana dengan perasaan teman-teman wota lain ketika memperoleh reaksi sindiran semacam itu? Bisa jadi berbeda. Saya yakin tidak semua wota mungkin bisa se-legowo  saya memamerkan hobi nge-wota ini, dan bahkan saya yakin  ada wota yang mungkin mati-matian menyembunyikan hobinya tersebut dari kehidupan sekitarnya agar imej “normal” tetap melekat di dirinya.

Bisa dibilang wota sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kumpulan fans-fans lainnya, misalnya sebut saja Sahabat Padi, Slankers, OI, atau SONE. Yah meskipun saya pribadi yakin seyakin-yakinnya kalian para SONE atau Slankers pasti  tidak akan mau disejajarkan dengan yang namanya wota. Tapi tenang saja, saya sama sekali tidak bermaksud menyamakan, menyejajarkan, atau bahkan memposisikan kalian setara dengan para wota, karena jujur saja wota memang berbeda, mereka berada pada dimensi lain dalam dunia per-fans-an. Lantas, apa yang membuat wota ini berbeda dengan fans-fans pada umumnya? Ada banyak jawaban, misal: wota bisa bertemu langsung lah dengan idola-nya, punya chant yang unik-lah, bisa salaman lah, bisa nge-stalk idolanya lah, bisa mengikuti perkembangan idola-nya dari awal lah,  dan sebagainya. Tapi kalau saya ditanya hal tersebut, maka jawabannya cuma satu kata, delusi. Saya terus terang saja, faktor delusi inilah yang menjadi pemicu saya menjadi wota, dan juga saya yakin merupakan satu-satunya alasan mengapa banyak wota berasal dari kalangan pria yang –maaf- jomblo. Bagi sebagian besar wota, apalagi yang garis keras, delusi ini bisa mengakibatkan munculnya sosok imajiner pacar ideai yang berasal dari persepsi mereka atas idola yang mereka idolakan. Toh hal ini juga didukung dengan aktivitas idol grup yang memungkinkan para fansnya untuk secara intens berinteraksi dengan idola mereka, baik di dunia nyata (handshake event, theater, direct selling, dll) maupun dunia maya (twitter, g+). Delusi ini juga sebetulnya bisa menjangkiti para fans lain, SONE misalnya. Saya yakin banyak teman-teman SONE di sana yang pernah berimajinasi untuk bisa jalan, ngobrol, makan bareng, atau bahkan jadian dengan anggota SNSD. Masalahnya adalah, delusi para SONE memang hanya betul-betul sebatas delusi mengingat anggota-anggota SNSD yang memang out of reach dan kegiatan mereka pun bisa dikatakan minim interaksi dengan para fansnya sehingga tidak sampai mempengaruhi kehidupan mereka alias cuma sekadar mimpi. Sedangkan para wota, aktivitas para idola memungkinkan mereka untuk bisa bersalaman, mengobrol, bercanda dengan idolanya, memberi hadiah secara langsung, atau untuk menjadi jauh lebih dekat dengan idolanya. Jadi kalau mau dibuat level atau tingkatan delusi dengan skala 1-10, mungkin level delusi wota bisa jadi berada di angka  7 ke atas.

Delusi inilah yang membuat persepsi banyak orang akan wota menjadi kelewat negatif, walaupun memang saya akui ada beberapa kalangan wota yang sudah menjadikan aktivitas idolling ini sebagai bagian dari siklus hidup mereka. Tapi bukankah dalam dunia per-fans-an memang selalu ada kalangan atau orang-orang yang lebih “ekstrem” dari kebanyakan? Fans dari klub sepakbola misalnya. Lalu bagaimana dengan saya? Maaf saya tidak berdelusi sampai ke level pacar imajiner karena saya berpikir bakalan susah hidup saya kalau punya pacar layaknya member JKT48 yang biaya perawatan dan belanjanya saja bisa menghabiskan gaji bulanan saya.  Saya memang berdelusi, berdelusi untuk bisa berinteraksi, mengobrol, berteman, dan ada kalanya juga saya berimajinasi kalau nanti saya punya anak perempuan bisa seperti para member JKT 48.  Jujur, secara pribadi saya kagum dengan para member JKT48 ini, terutama dalam hal mereka membagi waktu antara aktivitas sekolah atau kuliah dengan aktivitas JKT 48 yang cukup padat. Tidak jarang saya mengetahui ada beberapa member yang pulang cukup larut malam padahal keesokan pagi-nya mereka masih harus sekolah atau kuliah. Inilah yang nantinya akan saya ceritakan kepada anak saya, bahwa ada sekelompok pemudi yang punya cita-cita atau keinginan dan berusaha keras mewujudkan keinginannya itu meskipun harus mengorbankan waktu santai di usia muda mereka.

Menjadi wota bukanlah hal negatif, pandangan orang-orang lah yang justru memberikan kesan bahwa apa yang kita lakukan itu negatif. Saya pribadi justru berusaha untuk mengubah pandangan negatif tersebut dengan cara tidak menutup-nutupi hobi  idolling  dan status saya sebagai wota. Saya bisa dengan bangga menuliskan idolling di CV sebagai salah satu hobi saya, mengajak teman kantor untuk nonton theater JKt48, atau bahkan menempelkan stiker Pocky JKT48 di laptop kerja saya. Tidak perlu menutup-nutupi hobi ataupun kesukaan kita, karena justru dengan menutup-menutupi itulah akan muncul banyak persepsi dan juga prasangka. Menjadi wota bukanlah hal negatif, dan wota pun tidak perlu diperlakukan sedemikian rupa layaknya sampah masyarakat yang harus dicibir. Toh, sepanjang pengetahuan saya, belum ada wota yang mengganggu ketertiban umum, atau bahkan sampai melakukan pengeroyokan untuk membela nama baik  idolanya. Kalaupun ada keributan yang pernah terjadi, saya pernah menyaksikannya hanya pada level dunia maya saja, yang menurut saya –maaf lagi- tidak perlu dipermasalahkan alias abaikan saja.

*) Ilustrasi: Koleksi Pribadi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline