Sangat miris rasanya ketika membaca sebuah komentar dari seorang kompasioner di tulisan saudara Cariefs Womba : http://regional.kompasiana.com/2014/12/22/tumbangnya-pohon-beringin-tanda-bencana-jemblung--698419.html . Kompasioner tersebut memang suka sekali memberikan komentar yang nyleneh, apalagi dilapaknya Bung Elde yang tak lain adalah soulmatenya.
Berikut komentarnya : “Aku hnya kecewa, ketika Tim sar dihari pertama kejadian,mnghentikan pencarian korban,hnya karena alsan sdh larut mlm,ini sama saja membiarkan para korban mati secara pelan 2;hingga keesokan harinya n bener juga korbannya akhirnya cukup bnyk,pdhl cuma longsor tanah,bkn gunung mletus atau kapal tenggelam dilautan DLM.”
Mungkin ini bagi beliau hanya sebuah komentar biasa, tetapi bagi saya yang pernah tergabung dalam Korps Relawan PMI kok bikin nyesek dan ndongkol di hati. Seakan – akan Tim SAR ini bekerja seenak hati mereka saja sehingga dengan semena – mena menghentikan proses pencarian dan evakuasi korban bencana tanah longsor tersebut.
Dari penjelasan Koordinator Tim SAR gabungan, penghentian sementara pencarian korban dilakukan karena faktor cuaca dan medan yang berat. Setahu saya memang jika kondisi dan situasi di tempat bencana tidak mendukung dan justru membahayakan nyawa Tim SAR maka proses pencarian atau evakuasi korban bencana memang harus dihentikan, sekecil apapun bencana itu.
Perlu diketahui bahwa daerah / lokasi bencana adalah tempat yang tidak aman karena bisa saja terjadi bencana susulan. Ini pernah terjadi pada saat evakuasi korban bencana meletusnya gunung Merapi di Yogyakarta. 5 orang relawan TAGANA meninggal dunia ketika melakukan penyisiran warga korban jiwa Merapi di Glagarejo dan Wukirsari, Cangkringan, Sleman, DIY karena tiba – tiba saja awan panas Merapi meluncur kearah mereka. Bahkan pada bulan sebelumnya ( Oktober 2010 ) , relawan PMI bernama dr Tutur juga menjadi korban tewas awan panas ketika berusaha menjemput Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Cangkringan.
Disini saya cuma ingin menyampaikan bahwa kerja Tim SAR itu sangatlah berat dan bukan main – main. Bahkan anggota Tim SAR yang terdiri dari para relawan mereka harus banyak berkorban agar bisa membantu saudara – saudara mereka yang sedang terkena bencana. Mereka harus berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Mereka harus meninggalkan keluarga bahkan pekerjaan yang menjadi sumber keuangannya. Mereka secara iklhas bekerja tanpa mengharapkan imbalan dan pujian apapun. Melihat warga korban bencana yang masih hidup bisa tersenyum sangat menyejukan hati dan sangat menggembirakan bagi Tim SAR.
Kalau memang kita tidak bisa membantu lebih baik diam. Bukannya malah nyinyir kepada orang lain yang sudah ikhlas membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H