Lihat ke Halaman Asli

Rasa Lintas Zaman

Diperbarui: 4 Juni 2018   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat Kereta Lewat, dokpri

Berjalan menyusuri jalan menuju langgar dengan obor, balapan mengumpulkan bacaan quran dengan teman dan berlomba mengumpulkan tanda tangan di buku ramadan adalah kenangan masa kecil yang sangat indah bagiku. Disaat kami saling jemput menjemput, bersemangat meraih berkah ramadan walau suasana desa sepi, gelap dan hanya sinar obor yang menyilaukan langkah.

~~~

Sekitar tahun 2000an atau 18 tahun yang lalu, tersibak suatu kenangan indah saat aku sekolah menengah pertama di desa. Desa yang sepi namun teduh selama hidupku. Air sungai yang tenang dan jernih dengan kumpulan domba disisinya. Rumput yang menghijau tak kalah dengan menguningnya padi di sawah. Serta alunan burung berkicau membalap dengan bisingnya suara kereta api yang datang dari timur, sungguh ingin ku telusuri segala kenangan itu.

Semangkuk Soto Penggugah Kenangan, dokpri

Setiap pulang ke desa, kegiatanku adalah mengunjungi pasar tradisional. Teringat dahulu membantu nenek berjualan pisang hasil panennya di kebun. Sekarang jangankan nenek, rekan nenek yang berjejer disisi pasar sebelah barat dengan tempat parkir sudah almarhum dan almarhumah. Mungkin tersisakan penerus "beliau" yang mengajarkan anak-anaknya untuk tetap berdagang. 

Tak ketinggalan aku pasti mampir ke depot soto bening yang sudah tiga generasi berdagang. Mbak Siti panggilan beliau, tak lupa dengan seleraku dari dulu, mungkin melihat racikan soto yang selalu aku pesan dari ibu bahkan neneknya. Ya soto bening tanpa vetsin lengkap dengan bihun, irisan tomat, perkedel dan banyak seledri bukan bawang goreng. 

Tak hanya itu, sate telur puyuh dan tempe bacem harus ada mewarnai mangkok soto yang tersaji hanya untukku. Saat pertama aku beli, semua soto bening lengkap tersebut dihargai dengan seribu lima ratus saja. Seiring dengan naiknya sembako bahkan bahan bakar, semua soto itu menjadi delapan ribu rupiah. Ah, masih sangat murah untukku. Entah untung apa yang diraih oleh mbak Siti dalam berjualan soto tapi memang tak lebih dari dua jam sotonya selalu habis. 

Ia selalu berjualan dimulai setengah tujuh sampai jam sembilan atau kurang dari itu. Kalau tidak ditunggui, jangan harap bisa kebagian karena mbak Siti melayani pelanggannya dengan moto "yang duluan pasti akan dilayani" walau itu saudaranya sekalipun.

Susur Pantai Glagah, dokpri

Selepas dari semangkok soto yang nikmat di pasar, kegiatanku selanjutnya adalah menyusuri pantai Glagah di selatan tempat tinggalku. Ya, aku suka sekali laut berarti aku suka dengan pantai. Selain sungai, pantai Glagah mempunyai kenangan tersendiri karena disinilah setiap sore di akhir pekan aku berkumpul dengan teman-teman. 

Biasanya kami memancing dengan kail seadanya atau melempari buihan air laut dengan pasir. Beda dengan sekarang, para muda -- mudi menikmati caranya dengan mengambil gambar dengan kecanggihan telepon genggamnya atau berselfie ria. Mereka rela menghabiskan waktu untuk itu semua tanpa menikmati betapa indahnya senja dengan duduk terdiam dengan mata telanjang.

Kegiatanku yang lain adalah menikmati jajanan tradisional yang berada di pasar malam. Selain di pasar, jajanan itu pasti tersedia dimana pasar malam berada. Dari bakso pentol yang kenyal sampai sate gajih yang lembut dan pastinya bikin gemuk. Pentol saat itu sungguh pentol yang lezat. Pentol dengan campuran kanji dan lemak sapi diberi isian telur puyuh yang dikukus. 

Tak lupa disiram bumbu kacang yang manis atau saus sambal yang pedas. Sekali gigit ada kenikmatan rasa yang membuatku melintasi zaman ke masa lalu. Apalagi dengan lembutnya sate gajih sapi yang berlemak itu dengan tambahan bumbu kacang ala sate Madura, aduhai sungguh ku merindukan masa kecil yang mungkin tak lekang oleh waktu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline