Lihat ke Halaman Asli

Politik Dangdut, Demokrasi Fatamorgana

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kampanye terbuka hampir semua melibatkan musik, khususnya dangdut, metode ini dianggap punya pengaruh, representasi masyarakat kelas bawah, bisa buat euforia momentum, relaksasi dan lepas penat sambil angkat jempol. Kampanye dangdutan jamak ditemukan hampir di seluruh wilayah nusantara, bahkan sejak masa orde baru sudah lazim parpol mengundang artis dengan dalih hibur konstituen.

Dangdutan disodorkan bukan tanpa alasan, sebagai daya tarik, yang perlu dicermati pengaruhnya bukan pada elektabilitas melainkan hanya pemanis untuk mobilisasi massa ke area kampanye. Satu hal bahwa mereka datang bukan untuk mendengarkan pidato program yang diusung, kebanyakan parpol belum siap dengan pola resiprokal, makanya di kasih saja musik biar joget, sehingga partisipan lebih fokus goyangannya daripada mempertimbangkan gagasan-idepara politisi. Politisi dan para caleg lupa bahwa kampanye selain sebagai kegiatan proses kaderisasi sekaligus edukasi politik secara langsung ke masyarakat.

Fenomena ini terjadi karena partai dan para politisi kurang pede, minim kreatifitas dan inovasi, mereka terjebak dalam politik fatamorgana, seolah kehadiran mereka mampu datangkan banyak massa, pendukung, padahal itu tidak nyata, cuma klaim.

Perlu diketahui bahwa pasca reformasi tepatnya pemilu 1999 orang berpolitik secara sadar, saat itu inisiatif datang dari masyarakat sendiri, cetak kaos, buat atribut kampanye semuanya dilakukan mandiri, baik sendiri maupun kelompok dengan upaya swadaya-gotong royong, sekarang volunterism kian hilang, karena mereka hadir bukan murni keinginan terlibat secara sukarela-sadar, tapi ada imbal balik di kasih kaos, uang 50 ribu, plus nonton artis gratis, selesai.

Boleh dikatakan sejak pemilu 2004 massa yang datang kampanye bersifat mobilisasi bukan lagi partisipasi, partisipasi didasari ikatan ideologis yang kuat antara massa partai dan menganggap pesta itu milik bersama, sebagai langkah persiapan sebelum ikuti kontestasi politik nasional. Apalagi di masa orde baru terjadi pengendalian nilai otoritatif oleh presiden, pemilu hanya jadi alat mobilisasi massa untuk cari dukungan legitimasi palsu, hal ini berlanjut hingga pemilu pasca reformasi, perubahan memang ada, dari sentralisasi ke desentralisasi power, tapi belum bisa mengatasi inferiority partai, dimana partai masih mengandalkan vote gather.

Pada kenyataannya rakyat sudah jenuh dengan praktik politik kepartaian yang cenderung monoton tokoh dan isyu yang muncul seputar itu-itu saja, partai tidak memposisikan diri sejak awal, umumnya partai berfikir bahwa investasi politik hanya penting jelang pemilu saja, padahal ikatan partai dengan pemilih, sifatnya ideologis, bukan tergantung ada tidaknya acara pemilu.

Cara konvensional ini sudah tidak efektif lagi sudah usang, meski punya efek demonstratif simbolik tapi miskin kualitas, diperlukan altenatif lain agar partai dan politisi mampu menemukan gaya baru melakukan kampanye yang lebih bermutu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline