Lihat ke Halaman Asli

Erwin Ma

Founder Leadershub Sulsel

Alam Menuntut Penghidupan yang Layak

Diperbarui: 9 Desember 2023   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Tentang kesejukan, dan rindangnya pepohonan, mengibaskan dedaunannya berkat hembusan angin. Sang fajar merekah jingga dicakrawala, menyapa hati-hati yang sedang menunggu demi mengisi catatan-catatan indah sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Tentang langit yang selalu biru, mentari yang dengan rajinnya menampakkan diri pada bumi, tak ada lagi awan-awan hitam yang biasa menutupi. 

Rasa-rasanya, mentari tak lagi bersahabat? Kulit dengan balutan tabir surya masih saja menembus dan membakar kulit, mendidihkan ubun-ubun, memicu amarah yang setipis tisu. Dulu Sungai-sungai mengalir membawa penghidupan alam semesta. Ekosistem yang begitu terbangun disekitarnya, kini mengering membawa sengsara.

Inilah kisah umat manusia yang sedikit saya akan ceritakan. Manusia kini dilanda begitu banyak bencana, masalah-masalah timbul ke permukaan, membuat jiwa-jiwa tak tenang dan dihinggapi kecemasan. Sungai yang kering berakibat pasokan listrik berkurang, anak-anak sulit belajar di malam hari, usaha-usaha kecil gulung tikar. Ikan-ikan memilih berimigrasi ketimbang mati sia-sia menghindar dari air yang tercemar akibat ulang manusia. Buangan dari aktivitas rumah tangga, mencuci, buang air besar dan kecil, mandi yang limbahnya langsung menuju sungai. 

Parahnya adalah buangan dari industri yang bukan main limbahnya juga melimpah. Proses pencemaran air selain terkontaminasi langsung dengan limbah, juga bersumber dari resapan tanah yang mengkontaminasi air dalam tanah. Maka tak jarang sumur-sumur yang digali tak menjamin kebersihan air. Bukan hanya itu, kalau kita mengira hujan yang turun adalah air yang bersih karena belum terkontaminasi limbah yang mengandung racun dan zat-zat yang berbahaya. Faktanya air hujan dapat terkontaminasi melalui zat-zat  kimia yang bereaksi di udara akibat pencemaran udara. Awan-awan hitam yang telah memproses titik-titik air telah terkontaminasi hingga hujan turun ke bumi.

Burung-burung juga tak tenang terbang di udara yang kotor, asap dan polusi. Emisi gas berlebih yang tidak lain konsekuensi dari kegiatan manusia, walaupun bukan hanya hasil pembakaran manusia, letusan gunung, pernafasan daun, kebakaran spontan hutan, proses biokimia di rawa-rawa. Hal itu terjadi  secara dinamis dan alamiah dan alam punya batas-batas kesanggupannya. Manusia dengan penuh serakah menambah beban alam untuk mendaur ulang gas emisi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara, minyak bumi, gas bumi. Selain itu, proses pembakaran hutan secara brutal adalah salah satu penyumbang polusi udara bukan hanya menambah karbondioksida di atmosfer tapi juga menghilangkan fungsi hutan untuk menekan pemanasan global. Ekosistem hutan dengan segala macam flora dan fauna di dalamnya juga terdampak. 

Kalau hari ini merasakah suhu udara yang begitu panas, maka tak perlu heran sebab hutan yang punya kemampuan menyerap karbondioksida tak lagi berfungsi, iklim di bumi berjalan tidak seimbang dan mengalami kondisi ektrem (terlalu panas). Ada kalanya juga setelah panas yang berkepanjangan, maka datanglah bencana sebaliknya, kondisi ektrem seperti banjir, erosi dan longsor berakibat krisis air bersih. Lagi-lagi fungsi hutan tidak berjalan sebagai kawasan resapan air, melindungi permukaan tanah dari derasnya air hujan.

Tak ada tempat yang aman ketika alam dan manusia tidak bersahabat. Coba saja manusia tidak begitu serakah. Di hutan melimpah akan pemenuhan kebutuhan manusia, kayu dengan sejuta macamnya, segala jenis obata-obatan, jutaan spesies hewan serta sumber hayati lainnya. Saya rasa alam tidak akan marah kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan, tidak dengan eksploitasi dan melakukan pengrusakan secara brutal. Lagi pula di bumi ini, posisi manusia tidak sebagai satu-satunya subjek dan memperlakukan lingkungan dan alam sebagai objek belaka. 

Alam punya cara untuk memberi tahu manusia, bahwa mereka punya hak atas penghidupan yang layak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline