Lihat ke Halaman Asli

Erwin Ma

Founder Leadershub Sulsel

Puisi Hujan Bulan Juni dan Covid-19

Diperbarui: 20 Februari 2021   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dok. Pribadi


HUJAN BULAN JUNI


Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
(1989)


Siapa yang tak tau puisi Sapardi Djoko Damono yang satu ini? Kepiawaian beliau dalam mengolah kata, sederhana dan memiliki makna yang mendalam, membuat karya-karyanya tetap eksis sampai sekarang, bahkan puisinya dijadikan film dengan judul yang sama "Hujan Bulan Juni".
Dalam tulisan ini, saya tak bermaksud bersastra, menulis puisi, atau bahkan menandingi puisi Sapardi.... Hanya saja, saya ingin membagikan apa yang saya rasakan pada saat hujan di bulan juni ditengah pandemi saat ini. Nah... mungkin pertanyaan pertama dibenak saya ataupun semua orang mengenai puisi Sapardi, kenapa harus bulan Juni? Kenapa bukan juli atau agustus dan bulan-bulan lainnya. Diantara banyak tulisan yang saya baca mengenai analisis puisi hujan bulan juni, mentok pada satu jawaban, yaitu hujan bulan juni merupakan sebuah fenomena karena bulan juni masih masuk rotasi bulan di musim kemarau. Jadi sangat langka apabila terjadi hujan di bulan juni. Bagi saya yang tak paham mengenai anomali cuaca atau perubahan iklim, tentu tak tau bulan-bulan apa saja masuk kemarau atau penghujan, yang jelas kalau selalu hujan yah.. mungkin masuk musim penghujan.
Hmmm... terlepas dari semua itu, saya ingin mengajak pembaca untuk sekedar merenungi tentang siapakah yang lebih tabah dari hujan bulan juni? Yang rela merahasiakan rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Mungkin sepasang kekasih yang batal bersanding di pelaminan karena covid-19? Rela menahan rindu karena berjarak. Tapi menurut hemat saya, tabah yang dimaksud bukan hanya sekedar rela menahan rindu, tapi lebih dari itu, maka perlu mendefenisikan kata "tabah" ini, dalam KBBI edisi V, tabah berarti tetap dan kuat hati (dalam menghadapi menghadapi bahaya dan sebagainya); berani. Nah... semua orang yang tetap dan kuat hati dalam menghadapi bahaya (dalam hal ini covid-19) patut dikatakan tabah.
Para tenaga medis yang berjuang di garda terdepan melawan covid-19, para anak anak yang menahan lapar karena orangtuanya diPHK akibat pembatasan sosial, para ojol yang tak dapat orderan, atau orang miskin yang tak dapat BLT dan bantuan sosial lainnya karena pendataan yang kurang tepat. Semuanya bisa dikatakan tabah, kecuali orang-orang yang bunuh diri karena stress dirumah aja. Hehe
Lalu, siapakah yang lebih bijak dari hujan bulan juni? Memutuskan untuk menghapus jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.
Dalam KBBI edisi V, bijak berarti selalu menggunakan akal budinya, pandai, mahir.
Mungkin Bapak Jokowi bisa dikatakan bijak?, dengan kepandaiannnya dalam mengeluarkan kebijakan PSBB, berdamai dengan covid-19 (New Normal). Ataukah bapak Anies Baswedan yang selalu menggunakan akal budinya dalam mengeluarkan kebijakan?, walau banyak kritik oleh elite politik, toh dunia menganggapnya sebagai pemimpin yang berhasil menekan angka penyebaran covid-19.
Entahlah? Yang pasti orang-orang yang pandai dan menggunakan akal budinya dalam memutuskan sesuatu, tentulah bijak. Seperti orang-orang yang rajin memakai masker, sering cuci tangan, jaga jarak fisik dan tinggal dirumah aja guna menekan angka penyebaran covid-19.
Kemudian, siapakah yang lebih arif dari hujan bulan juni? Dibiarkannya yang tak terucapkan, diserap akar akar pohon bunga itu.
Dalam KBBI edisi V, arif berarti bijaksana, cerdik dan pandai; berilmu; paham; mengerti.
Hmm... mungkin seseorang bernama Arifuddin?, seorang tokoh masyarakat yang memberikan contoh yang baik kepada masyarakatnya tentang pentingnya mematuhi protokol kesehatan tanpa harus menegur atau mengajak secara langsung. Namun yang tidak terucapkan itu sampai juga kepada akar pohon yang mungkin sangat membutuhkannya.
Nah.. mungkin sebagai kesimpulan, bahwa Sapardi Djoko Damono ingin menyampaikan pada teks puisi tersebut sebuah pesan kepada pembaca atau masyarakat yaitu beberapa aspek etika agar pembaca atau masyarakat diharapkan memiliki sifat-sifat yang di ibaratkan pada puisi hujan bulan juni, yaitu sifat tabah, bijak, dan arif dalam menghadapi segala sesuatu atau dalam mengambil suatu keputusan. Seperti pada saat ini, dimasa pandemi, sudah seharusnya kita bersifat tabah, bijak dan arif dalam menaati protokol kesehatan, agar kehidupan kita bukan hanya "new normal" tapi benar-benar normal. Aamiin
Sekian!!!


Nb: Tulisan diatas hanyalah pendapat penulis belaka dengan pendekatan pragmatik, boleh saja pembaca menerimanya atau menolaknya. Silakan berikan saran dan kritikan di kolom komentar yang sifatnya membangun untuk penulis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline