Lihat ke Halaman Asli

Erwin Alwazir

Karyawan Swasta

PR Jokowi-Ma'ruf, Membentuk "Kementerian Tanpa Nomenklatur"

Diperbarui: 12 Juli 2019   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini Jokowi mungkin tengah dibuat pusing oleh parpol koalisinya yang menuntut penjatahan. Jumlahnya cukup signifikan. Golkar ngidamin  4-5 kursi menteri. PPP ngangeni 9 menteri, PKB minta jatah 10 menteri,  Nasdem usul 11.   Sementara  kabinet kerja Jokowi saat ini berjumlah 34 menteri, yang terdri dari 30 kementerian dan 4 menteri kordinator.

Stok yang tersedia 34 kursi, sedangkan permintaan dari parpol sudah tembus angka yang sama. Belum lagi ditambah jatah kaum profesional, jatah NU dan Muhammadiyah, jatah kawasan barat, tengah dan timur, jatah timses, jatah buzzer,  serta jatah-jatah pihak lain yang turut merasa berjasa dengan kemenangan Jokowi.

Eh, hampir ketinggalan. Jangan lupa jatah untuk kaum milenial!

Alhasil Jokowi kini mengalami defisit menteri. Tentu Jokowi dibuat puyeng dengan hak proregatifnya. Jika diikuti,  khawatirnya parpol-parpol yang main tuntut tadi  bisa ngelunjak dan terus membangun kekuatan untuk menumbangkan eksistensi PDIP di masa mendatanag, Sebaliknya jika tidak diikuti, parpol-parpol yang berjuang penuh pamrih tadi akan mennggunakan rumus anak kecil dalam bersikap, ngambek.  Masih mending. Kalau mereka malah mencabut dukungan politik di parlemen, apa iya Jokowi dapat menuntaskan program kerjanya 5 tahun ke depan?

Untuk mengatasi defisit menteri tadi sebenarnya cara yang gampang. Sebelum menjadi pejabat publik, Jokowi berprofesi sebagai pengusaha mebel yang sukses di Solo sana. Dia diyakini masih punya relasi dan jaringan yang kuat di kampungnya.  Jadi  ada baiknya Jokowi pulang ke Solo, minta anak buah atau koleganya  untuk membuat kursi-kursi istimewa sebanyak kuota yang kurang tadi,  dan lalu diserahkan secara khidmat kepeda pihak-pihak yang merasa paling berjasa tersebut. Bila perlu kasih saja merek "Kementerian Tanpa Nomenklatur".

"Kementerian Tanpa Nomenklatur" maksudnya adalah penempatan pejabat-pejabat di luar kementerian yang ada, namun status dan gengsinya tak kalah membanggakan di mata keluarga. Meminjam kalimat  jenderal Naga Bonar saat menurunkan pangkat bawahannya dari mayor ke sersan mayor, bukan ke kapten. Yang penting kan ada mayornya? Nah, para pemilik kementerian tanpa nomenklatur tadi minimal sudah dapat jatah jabatan, jangan pandang nomenklaturnya, tapi pandanglah jatahnya!

Tinggal dinegosiasikan saja. Teknis lainnya  mungkin, Jokowi dubeskan saja kader-kader parpol yang menuntut jatah tadi. Sebar ke semua negara. Jabatan ini lumayan bergengsi lho. Ada sekitar 196 negara di dunia ini. Jumlah kursinya hampir 6 kali lipat dibanding jumlah kursi yang diperebutkan. Dengan langkah ini jumlah kementerian kabinet Jokowi di masa mendatang tetap stabil, tidak bertambah atau berkurang. Juga aman, aman dari nomenklatur birokrasi yang njlimet dan berkepanjangan, aman dari pengurasan anggaran,  juga aman dari pihak-pihak  yang haus jabatan dan akan menggunakan jabatan tersebut untuk kepentingan kelompok atau diri sendiri.

Percayalah, PR Jokowi-Ma'ruf yang paling utama saat ini bukan berkutat tentang nawa cita jilid dua dan seterusnya. Tapi memuaskan syahwat mendapat jabatan dari para pendukungnya. PR ini dituntaskan, semua program bisa diluncurkan. Urusan ini nggak kelar, semua program bisa modar.  

Ngomong-ngomong pak Presiden, kapan saya ditelepon sekedar nanyakan kabar?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline