Lihat ke Halaman Asli

Erwin Alwazir

Karyawan Swasta

Membaca Afi dari Budaya Literasi

Diperbarui: 8 Juni 2017   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat orang heboh mengulas status-status Afi yang dianggap fenomenal bagi sebagian orang, saya lebih suka menyimak dan menyembunyikan rasa kagum. Saya enggan ikutan heboh, karena biasanya sesuatu yang dihebohkan dalam sekejap itu bisa jadi tak perlu dihebohkan. Jadi  ngapain ikutan heboh sementara saya sendiri merasa biasa-biasa saja setelah membaca status Afi yang bikin heboh tersebut.

Ambil contoh yang bikin heboh tersebut. Misalnya Soal Agama adalah warisan.  Saya anggap biasa saja. Dari sisi tematik yang diangkat, tak ada hal baru yang dicetuskan oleh Afi. Ia hanya pengulangan sebuah diskusi panjang kaum filsuf yang memandang saat ini fungsi agama hanya  dipahami sebatas tataran kognitif (syariat) semata, namun sisi afektif (religiositas)-nya dianggap lambat terutatama dalam hal mengayomi dan menyikapi sebuah keberagaman. 

Cara beragama yang fanatik dan cenderung radikal diyakini menjadi sumber perpecahan dalam masyarakat. Semakin ia dibiarkan, maka watak psikomotorik (sikap toleransinya) kaum  beragama akan menyuburkan paham-paham di mana mereka merasa paling ber-Tuhan di tengah-tengah masyarakat. Perilaku inilah yang dianggap dapat mendorong manusia kehilangan rasa kemanusiaan dan penghormatannya kepada pihak lain.

Menempatkan keberagaman dalam ketoleransian inilah yang menyebabkan tulisan seorang Afi dianggap sangat bergizi. Terutama untuk tolok ukur seorang remaja dizamannya. Apakah ada “temuan” baru dari ulasan Afi? Silahkan nilai sendiri. Namun bagi saya, kelebihan seorang Afi adalah,  ia pandai membahasakan ulang apa yang pernah ia baca atau setidak-tidaknya pernah ia dengar. 

Bukti bahwa Afi pandai membahasakan sendiri apa yang pernah ia baca atau ia dengar (atau murni terlintas dalam benaknya?) dapat kita simak dalam salah satu statusnya tanggal 3 Januari 2017 di FB-nya. Saya kutip dengan lengkap. 

EMOSI TERSELUBUNG

“Mbak, lihat gambaranku, bagus nggak?” Adik sepupuku yang berusia 5 tahun antusias menunjukkan gambar yang baru dibuatnya.

“Wah, gambaranmu keren, dik. Bagus banget.”

Padahal, aslinya? Ancur! Sungguh karya seni yang tidak ada bagusnya sama sekali.

Lalu, kenapa saya mengatakan gambaran adik saya itu bagus? Karena saya memahami emosi terselubungnya, yakni INGIN PUJIAN. Dia tidak butuh penilaian jujur, tapi apresiasi. Meskipun dia bertanya “Bagaimana gambaranku?” dan bukan berkata,”Aku minta pujianmu”.

(Status FB Afi seperti di atas juga dapat kita temukan di Blog-nya yang beralamat di sini)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline