Turnamen Piala Jenderal Sudirman dalam hitungan hari ke depan mencapai puncaknya. Babak final akan mempertemukan dua tim terbaik yang mewakili dua pulau terbesar di Indonesia, Mitra Kukar yang mewakili tanah Kalimantan dan Semen Padang yang merefresentasikan klub terkuat mewakili Sumatera. Setelah menyeberangi lautan, keduanya akan bertemu di Gelora Bung Karno, Minggu (24/01/2015) mendatang untuk membuktikan siapa klub terbaik dalam turnamen yang digagas oleh TNI tersebut.
Di luar rivalitas kedua klub yang kebetulan ditukangi oleh dua pelatih asal Ranah Minang tersebut, menarik disimak usaha yang ditempuh oleh panitia penyelenggara untuk membuat turnamen ini sedikit berbeda. Misalnya niat penyelengara PJS yang akan menganugerahkan apresiasi khusus kepada semua pihak mulai dari pemain, klub, wasit sampai penonton. Yang baru terangkat ke permukaan adalah rencana penyelenggara yang akan menganugerahkan predikat suporter terbaik, pemain terbaik, dan juga plus wasit terbaik selama perhelatan berlangsung.
Oke, tak usah setegang anggota DPR, mari kita ulas dengan santai.
Soal suporter terbaik, saya rasa kurang sreg mengulasnya. Wong suporter-suporter klub sepakbola kita mayoritas kelakuannya sama. Nggak suka sedikit dengan keputusan wasit, dalam hitungan detik langsung ngadain acara lempar botol. Nggak suka dengan klub lawan, malah suporternya yang diserang dengan buntalan pisang, bukan uang.
Pemandangan yang biasa kalau sempat menyaksikan ulah suporter-suporter klub kita dalam membela tim kesayangan. Kesannya tak terdidik secara etika. Dan mereka yang berbuat ulah pelakunya selalu dikatakan “oknum”. Namun kalau Tim Penilai tetap akan menganugerahkan tropi suporter terbaik pada turnamen kali ini, ya kita bilang monggo. Emang kita berkuasa atas tiket dan kursi penonton?
Bagaimana dengan pemain terbaik?
Khusus penghargaan yang satu ini, rasa-rasanya kita percaya Tim yang ditunjuk oleh penyelenggara akan menominasikan para pemain yang memang dipandang sangat berkontribusi dalam mengerek prestasi klub mereka. Sayangnya sisi keteledoran tersebut tak bisa ditampik. Misalnya alasan Tim penilai memasukkan nama Christian Gonzales sebagai salah satu nominasi pemain terbaik selain M Nur Iskandar (Semen Padang), Rizky Pellu dan Yanto Basna (Mitra Kukar).
Masuknya nama El Loco patut dipertanyakan. Dari 4 nama yang ditawarkan, El Loco terbukti gagal membawa klubnya menuju senayan. Tim Penilai rupanya tidak memperhitungkan kegagalam El Loco yang lain misalnya kegagalan pemain naturalisasi dalam mengeksekusi pinalti dibabak semi final saat menghadapi Mitra Kukar yang berujung terhentinya ambisi Arema untuk menggapai babak final. Faktor usia El Loco yang mau tidak mau semakin meroket juga luput dari perhitungan Tim Penilai. Padahal dengan bertambahnya usia seseorang, kontribusinya dalam bidang fisik punya tren menurun. Tapi kok El Loco malah meroket diusianya yang menginjak kepala empat? Tolok ukurnya seperti apa?
Menempatkan E; Loco sebagai nominator pemain terbaik oleh Tim Penilai bentukan penyelenggara PJS menurut saya adalah sebuah kekeliruan yang kasat mata. Rasa-rasanya mayoritas publik akan sependapat dengan pandangan ini.
Idealnya Tim Penilai memilih pemain usia muda yang kebetulan klubnya berhasil menembus final. Secara prestasi tentu pilihan ini bisa diterima publik. Sisi posistif lainnya, pilihan ini tentu akan membangkitkan semangat para pemain muda untuk memacu prestasi mereka di masa-masa mendatang. Nama-nama seperti M Nur Iskandar, Rizky Pellu dan Yanto Basna saya pikir sudah mewakili itu. Pemenangnya terserah pada pelatih yang mewakili klub-klub peserta Turnamen dan Tim Penilai. Palu ada pada mereka.
Hm, saatnya kita menebak, kira-kira siapa yang akan memimpin final sepakbola di GBK lusa nanti?