Lihat ke Halaman Asli

Erwin Alwazir

Karyawan Swasta

Pramukaku Dulu, Pramukaku Kini

Diperbarui: 9 September 2015   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari SD hingga tamat SMA, kegiatan ekstrakurikuler yang selalu saya ikuti hanyalah Pramuka. Untuk kegiatan lain saya tak begitu berminat. Saking sukanya dengan Pramuka, saya akhirnya menerapkan prinsip “sukarela” dalam menjalani kegiatan apapun. Jika sudah “suka” ya saya menjadi “rela” untuk berkorban, baik korban waktu maupun pengorbanan lainnya. Dengan kecintaan itu juga kemanapun Gugus depan punya hajat, apa itu ngadain Perkemahan sabtu-minggu (Persami), kerja bakti, hiking dan sebagainya, rasanya sayang kalau saya lewatkan begitu saja. Bagaimanapun caranya, berapapun biayanya, dan sesulit apapun rintangannya, saya selalu meluangkan waktu untuk mengikutinya hingga selesai. Banyak manfaat yang saya rasakan usai mengikuti suatu kegiatan. Ilmu selalu bertambah seiring waktu yang terus berjalan. Rasanya sulit diekpresikan dengan kata-kata betapa bermanfaatnya kepramukaan dalam mewarnai kehidupan saya, dulu hingga kini.

Lalu setelah masa pendidikan selesai, sempat terlintas dibenak saya untuk menjadi seorang pembina setelah menginjak dewasa. Kursus mahir dasar diikuti. Kursus mahir lanjut rasanya tak sulit-sulit amat mengingat jam terbang yang cukup mumpuni di kepramukaan. Tinggal selangkah lagi untuk ubah status menjadi pembina beneran, bukan pembina asal-asalan. Tetapi melihat pramuka sekarang sudah banyak yang kehilangan jati dirinya, saya mengurungkan niat untuk berkecimpung, berbagi ilmu dan pengalaman. Ada rasa kecewa setelah mengamati atau membandingkan pramuka era saya dulu dengan sekarang.

Dulu ketika berada dijenjang siaga-penggalang-pramuka, kode kehormatan Pramuka sangat dijunjung tinggi. Begitu juga dengan adat yang berlaku dalam perkemahan. Barang siapa yang melanggar siap-siap diadili oleh pemangku adat yang yang berfungsi untuk menegakkan aturan dan memberi sanksi bagi pelanggar. Adat perkemahan masih dipandang sebagai sumber kearifan, berperilaku dan bertindak oleh peserta, pembina dan panitia. Misalnya soal larangan merokok. Siapapun tak boleh merokok dilokasi perkemahan. Termasuk pengunjung. Kalau regu piket memergoki ada yang melanggar aturan, pasti akan ditegur. Kalau mengulang maka akan diminta meninggalkan lokasi. Tentu atas persetujuan pembina bersangkutan.

Pembina pramuka juga tak boleh merasa lebih istimewa dibanding peserta. Dalam hal-hal tertentu memang disitimewakan layaknya penghargaan yang diberikan seorang anak atas kunjungan orang tuanya. Namun soal larangan dan sanksi, sifatnya mengikat dan justeru merekalah yang harus memberi contoh bagaimana menjadi seorang pandu yang baik dan terpuji.

Tapi kini? Maaf, semuanya tinggal kenangan. Saat mengunjungi sebuah perkemahan, saya lihat adat perkemahan itu tinggal aturan semata. Tak ada yang benar-benar mentaatinya. Banyak anggota pramuka yang sudah mengenal rokok, karena mayoritas pembinanya juga perokok. Saya sering memrgoki peserta perkemahan merokok dibalik tenda dengan alasan mengusir rasa dingin dan sebagainya. Yang lebih miris, masih terlihat juga pembina pramuka putra yang tidur beralas tikar di tenda regu perempuan. Sementara peserta putra dan putri duduk di dekat api unggun kecil-kecilan sambil bersenda gurau ditemani petikan gitar.

Bulan merangkak naik, malam kian larut. Mereka tetap bersenandung menyanyikan lagu dangdut atau lagu cinta masa kini. Benar-benar pemandangan yang jauh beda dengan masa saya ketika berpramuka dulu.

Makanya ketika melihat para anggota pramuka berbaris dan hentakan kaki yang selaras sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan atau plesetan, saya hanya tersenyum getir. Mereka terlihat bagai seorang patriot dikerumunan orang, tapi di lokasi perkemahan, pramukaku kini sudah mulai kehilangan harkat mereka dibanding pramukaku dulu. Sebuah pujian dengan berat hati terpaksa disimpan.

Saya kurang tahu apa penyebabnya. Secara aturan tak ada yang berbeda antara pramukaku dulu dan kini. Mungkin berubah karena faktor zaman? Atau para pembinanya sendiri yang sudah menghilangkan kata “keteladanan” dalam hidup mereka? Entahlah, saya percaya masih banyak pembina dan anggota pramuka yang menjungjung tinggi kode kehormatan mereka. Yang saya lihat mungkin hanya sebuah kejelekan dari seribu kebaikan di mata orang lain. Semoga.

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline