Pagi yang lalu.
Jari mungilnya menari di atas tuts-tuts piano. Membuahkan nada aneh. Sumbang bagimu. Namun bagi seorang ayah sepertiku, inilah nada terindah, hasil karya seorang anak kecil dengan keluguannya. Sejujurnya, aku tidak tahu instrumen negeri mana dia mainkan. Namun aku percaya, dia punya bakat bermain piano seperti diriku, dulu...
Siang ini.
Senar gitar kecilnya berbunyi. Sumbang rasanya, namun bagiku selalu indah di ruang hati yang sama. Ya, hatinya seperti ditakdirkan dekat pada nada, mengeja hidup dengan jiwa. Seperti diriku, yang pernah mengalami itu, lalu lelah dan kemudian meninggalkannya. Kini...
Petang beranjak malam.
Dia tertidur pulas setelah lelah bermain angka dengan sang bunda. Aku tertegun. Batinku berkata, “Anakku, kau menyukai sesuatu yang rumit. Ayah khawatir engkau kalah dan meninggalkannya kelak. Melupakan semua keinginan baikmu, meninggalkan semua karena lelah, bosan, tak sanggup bertarung dengan keadaan.”
Tetapi suara lain dihatiku membela.
“Percayalah. Dia tak akan seperti ayah-bundanya. Dia lebih tangguh kelak. Terlebih Jika doa tulus kalian selalu bersahabat dengan telinganya. Bukankah doalah yang membuat semua awal menjadi mudah, semua akhir menjelma indah?
Dua suara hati bersilang-sengketa, aku memilih yang mampu menenangkan jiwa.
“ Tidur yang nyenyak, Nak. Bawalah impian kami dalam tidurmu. Antarkan kelak di alam nyata. Dan ketika dirimu beranjak dewasa, sadarilah, kaulah pewaris sah mimpi-mimpi tersebut. Semoga....”