Dilihat dari kronologisnya, istilah petugas partai pertama kali dicetuskan oleh Ibunda Puan Maharani. Ucapan ini sontak memicu polemik dan mendapat perlawanan oleh relawan Jokowi seperti Projo yang tidak berafiliasi dengan PDIP. Projo malah siap berubah menjadi partai politik jika Jokowi selaku pimpinan dewan pembina menghendaki (sumber)
Istilah presiden adalah “petugas partai” mencapai klimaksnya saat Mega kembali mengungkit kalimat tersebut dalam kongres PDIP yang disebut-sebut pengamat sangat demokratis, cukup dengan sebuah aklmasi tanpa melibatkan kertas suara beserta biliknya.
Sebutan petugas partai memang cocok disandangkan pada anggota legislatif seperti Bima Arya, Fadli Zon atau Fahri Hamzah. Mereka menduduki jabatan tersebut sebagai refresentatif partai di Palemen. Sebelum mengambil sikap atau keputusan, nama-nama yang disebut tadi pasti berkonsultasi dahulu dengan parpol yang menugaskan mereka. Sebutan ini tak berlaku bagi ketua MPR atau DPR. Keduanya tak lagi menjembatani tugas dari partai, tapi menjembatani kepentingan semua rakyat yang telah mewakilkan suara mereka pada petugas-petugas partai di parlemen. Mereka berdiri di atas konstitusi dan kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai atau kekuasaan.
Khusus di jabatan elsekutif atau yudikatif, istilah petugas partai tak hanya rancu tapi juga sangat menyesatkan. Di jajaran eksekutif jika seorang Presiden atau gubernur rela disebut sebagai petugas partai, maka secara tidak langsung semua program, tindakan dan perbuatan dari pejabat tersebut tak jauh-jauh dari kepentingan partai asal si pejabat. Bikin program atas dasar arahan partai, angkat pejabat atas dasar suruhan partai. Konyolnya ketika pejabat tersebut tersandung perkara hukum seperti korupsi, partainya malah lepas tangan dan menyatakan pejabat tersebut dipilih oleh rakyat dan bukan lagi mewakili kepentingan partai secara lembaga.
Begitu juga di jabatan yudikatif. Hukum akan hancur jika pejabatnya tetap mengakui diriya sebagai petugas partai bukan petugas negara. Hukum akan bergerak ke arah kengawuran yang luar biasa. Bisa jadi atas dasar kepentingan konyol, pejabat tadi memutuskan sebuah perkara dengan konyol, contoh kasusnya mungkin bisa dilihat pada perilaku menkumham menyangkut kasus PPP dan Golkar. Peristiwa itu tidak akan terjadi jika menkumham menyadari dirinya adalah alat negara bukan sekedar “alat partai”.
Dalam beberapa perkara, presiden berdaulat dengan kekuasaannya seperti yang diatur oleh konstitusi. Namun bila presiden tetap bungkam bila disebuat petugas partai, orang suruhan partai, maka kedaulatannya dipertanyakan. Kedaulatan bangsa juga akan tergerus oleh ketidakmengertian.
Cerdaskan rakyat dengan konstitusi, bukan dengan opini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H