Lihat ke Halaman Asli

Erwin Alwazir

Karyawan Swasta

[Hari Pahlawan] Pahlawan Pada Sepotong Roti

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cipluk pulang dari sekolah dengan wajah ceria. Baru sampai di depan pagar dia sudah berlari sambil mengucapkan salam.

“Assalamu’alaikum ya Ahlil kubuuuur,”teriaknya riang.

“Wa’alaikummussalaaam,”jawab ibunya lalu dilanjutkan dengan omelan.

“Lain kali  salamnya nggak boleh begitu, Ci, nggak enak didenger tetangga. Ketahuan ustadz bisa dipotong lidah kamu.” Nasehat ibu.

“Ok, Bu. Kabooor!”teriaknya berlari ke kamar.

Masih sempat Ibu melihat gelang baru Cipluk yang terbuat dari perak. Sangat indah dan berkilauan bila diterpa cahaya. Tak hanya gelang, terkadang Cipluk pulang membawa mainan-mainan baru. Ibu berpikir darimana Cipluk dapat uang untuk membeli itu semua.

Habis sholat dan mengerjakan PR, Cipluk membantu orangtuanya membuat roti.

“Hari ini berapa roti yang habis terjual, Ci?” Cipluk selalu membawa roti ke sekolah untuk ditipkan di kantin. Untung yang mereka dapat dari penjualan terswbut memang tak seberapa. Namun bila ditambahkan dengan roti yang terjual di warung lain, cukuplah untuk biaya hidup kelurga sederhana ini sehari-hari.

“limapuluh potong ya. Cipluk lihat pulang tadi tak ada lagi di kantin.”

“Alhamdulillah,”ucap ibu.

“tapi ngomong-nomong, kok roti kita hilang lima tiap hari.Kemana, ya?”

Ucapan ayah membuat cipluk gugup. Dia merunduk. Ayahnya pasti tahu kalau setiap hari ia memasukan lima potong roti ke dalam tasnya. Tapi...

“jujur saja, nak. Ayah tidak akan marah. Roti itu buat apa? apa ibu kurang memberimu uang jajan?”

“Tidak, Yah...” ucap Cipluk terus menunduk.

“Lalu...? Cerita saja, Ayah janji nggak bakalan marah sama Cipluk.”

Cipluk memberanikan diri mengangkat mukanya. Air matanya meleleh karena takut.

“Roti itu Cipluk berikan sama anan-anak di bawah jembatan, Yah. Setiap hari pulang sekolah, Cipluk selalu melempar roti sama mereka. Cipluk senang melihat mereka berebutan,”cerita Cipluk polos.

Kedua orangtunya terdiam.

“Trus gelang itu kamu dapat darimana?”

Cipluk cerita, gelang dan barang-barang lain dikamarnya pemberian Dewi, anak orang kaya yang pendiam. Cipluk pernah memberinya roti saat sakit maagnya kambuh. Dewi sendiri tidak suka ngemil walaupun uangnya banyak. Dia juga malas makan yang dibawa dari rumah. Entah kenapa.

Kebaikan Cipluk diceritakan Dewi sama ibunya yang punya toko besar. Kalau pulang sekolah, Dewi sering mengajaknya singgah, dan ibunya selalu memberikan oleh-oleh pada Cipluk karena dianggap anak yang baik. Ibu dewi selalu berpesan agar Cipluk menemani Dewi dan jangan bertengkar. Sudah 3 bulan lebih Cipluk terlihat akrab dengan Dewi.

Kedua orang tua Cipluk terdiam. Mereka menyesal telah berburuk sangka pada anaknya. walau perbuatan Cipluk salah, Ibu sangat menghargai niatnya untuk membantu orang lain. Ibu kemudian memeluk Cipluk dengan terharu.

“Mulai besok, Ibu janji siapkan roti untuk anak kolong tadi. Tapi kamu tidak boleh memberinyaseperti itu. Berikan dengan tangan yang baik, seperti kamu memberikan roti sama Dewi. Mudah-mudahan Tuhan membalas perlakuan kita dengan cara yang lebih baik,”bisik ibu pelan.

Cipluk mengangguk. Ayah hanya tersenyum. Dia bangga pada anaknya yang mau menjadi pahlawan hanya dengan sepotong roti.

NB:

Untuk membaca Karya peserta lain silahkan Klik di Sini

Silahkan Bergabung juga  di group FB Fiksiana Community




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline