Lihat ke Halaman Asli

Erwin Alwazir

Karyawan Swasta

Menanti Efek Somasi Terbuka Hakim Sarpin

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demi menjaga wibawanya sebagai seorang hakim, hakim Sarpin terpaksa ingin “meminjam” hakim lain untuk memperkarakan sejumlah pihak yang dianggap melecehkan status kehakimannya. Terakhir hakim Sarpin melayangkan somasi terbuka pada khalayak ramai yang dianggap telah melecehkan dirinya. Keinginan  itu dicetuskan oleh Hotma Sitompoel selaku kuasa hukum  hakim Sarpin.

Menurut Hotma, Sarpin meminta masyarakat  yang telah menghina dirinya dengan sebutan bego, goblok dan lain-lain untuk meminta maaf secara terbuka. Tenggat waktu yang diberikan adalah tujuh hari terhitung somasi terbuka tersebut disampaikan pada Bareskrim, Jum’at, 13 Maret 2013 (sumber)

Saya menolak keputusan hakim Sarpin yang memenangkan perkara gugatan Budi  Gunawan terhadap KPK. Namun soal somasi ini bolehlah saya setuju dengan hakim Sarpin. Menyebut seseorang dengan label bego, goblok, sapi dan sebagainya sungguh suatu perbuatan yang tak terpuji. Menjadi sangat tercela jika ucapan tersebut justeru dilontarkan oleh orang-orang ber predikat ilmuwan, akademisi dan predikat mulya lainnya. Dalam hal ini hakim Sarpin mengajak kita untuk menolak segala sesuatu dengan cara yang beretika dan beradab.

Namun hemat saya, walau sependapat, somasi terbuka hakim Sarpin sifatnya harus terbatas. Jangan semua orang dituntut meminta maaf karena keluguannya. Ada jutaan orang yang mencela dan menghujat hakim Sarpin di berbagai medsos. Apakah mereka semua harus meminta maaf? Bagaimana jika jutaan orang ini kompak enggan meminta maaf dan malah menuntut balik Komisi Yudisial untuk memanggil paksa hakim Sarpin dan lalu mencopotnya jika kemudian terbukti Sarpin melanggar hukum acara seperti yang diindikasikan KY?

Bagi saya wajar-ajar saja umpatan dan celaan lahir dari  kumpulan orang-orang tak terdidik, seperempat  defresi, setengah  frustasi  atau sepenuhnya stress. Pada tiga kelompok terkahir, ucapan yang kasar memang suka meluncur dengan sendirinya akibat tekanan batin yang galau, segalau hakim Sarpin pasca keputusan praperadilan.  Menuntut kelompok  galau di atas dengan sebuah somasi juga tindakan yang tak kalah galaunya, Sesama orang galau mestinya tak saling lempar somasi.

Somasi terbuka esensinya bagus, namun jika berlanjut hanya akan menguras energi Bareskrim yang disibukkan oleh berbagai pengaduan masyarakat mulai dari kasus AS dan BW, konflik DPRD dan Ahok, dan yang teranyar tentu tentang Golkar Bali vs Ancol. Belum lagi dampak dari keputusan Sarpin yang menimbulkan Sarpin Effect. Alangkah terkuras energi bangsa ini memantau  berbagai perkara dengan tajuk praperadilan, saling somasi  dan sebagainya. Dalam hal ini Sarpin secara moral  turut bertanggungjawab karena telah membuka lebar ruang sakral bernama “praperadilan” sehingga siapapun kemudian boleh  boleh memasukinya.

Jika tenggat tujuh hari lewat dan kuasa hukum Sarpin membuat pengaduan ke Bareskrim, saya khawatir jutaan orang yang telah mencela hakim Sarpin dan bisa jadi menjadi tersangka, akan menggugat balik status tersebut melalui ruang “Praperadilan” yang diciptakan Sarpin sendiri. Wow, lucunya negeriku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline