Lihat ke Halaman Asli

Erwin Alwazir

Karyawan Swasta

Indonesia Mencari Pemimpin, Bukan Pemain Sinetron

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya terkadang tertawa melihat jamaah pengajian di sebuah televisi menangis sesenggukan saat sang ustadz atau kyai melantunkan doa. Bagi saya nangis bareng ini momen yang lucu. Apa tidak lebih baik menangis di rumah saja, mencurahkan kegalauan hati di malam yang sepi, menghiba pada ilahi atas semua dosa yang dilakukan. Memohon ampun atas semua kesalahan? Bagi saya siapa saja bisa melakukan itu.

Jujur, saya agak males dengan pemimpin cengeng. Terlepas apa makna tangisannya bagi saya seorang pemimpin tak harus menangis. Negara ini banyak dirundung masalah. Kemiskinan dan pembangunan tak merata ada di mana-mana. Jika harus menangis, maka siapa yang memimpin negeri ini dipastikan akan menangis setiap hari.

Jokowi akan menangis saat menggusur penguni ilegal sekitar bantaran kali. Ahok juga akan tersedu-sedan saat tahu adawarga yang tinggal di rumah sempit ukuran 4x4 meter di Belitung. SBY akan meraung-raung saat menjenguk pengungsi di Sinabung atau Manado. Ridwan Kamil akan berurai air mata setelah menggusur pedagang K-5. Jika seorang pemimpin harus memaknai tantangan dan penderitaan dengan tangisan, maka air mata tidak akan berhenti menetes, karena bangsa ini tak hanya kaya dengan sumber daya alam, tapi juga kaya dengan sejuta penderitaan. Haruskah semuanya diselesaikan dengan tangisan?

Tidak. Terlalu banyak air mata yang harus dikuras bila menghadapi semua masalah dengan tangisan. Jika ingin mennagis, menangis saja di rumah, di mesjid atau di gereja semalaman. Lampiaskan semua perasaaan pada sang khalik sendirian. Lakukan sendirian. Tak ada kamera yang merekam. Tak ada yang melihat kecuali dirimu dengan Tuhan. Dan itu sudah cukup untuk menunjukkan anda pemimpin yang sejati.

Saya berharap Jokowi atau Ahok jangan pernah menangis saat memimpin Jakarta. Sekali anda menangis, saya menjadi orang pertama yang berteriak anda pemimpin cengeng. Siapapun yang cengeng tidak akan bisa mengatasi persoalan di depan mata. Rakyat yang menderita semakin menderita ketika sang pemimpin menangis bersama-sama. Jenderal yang suka menangis tidak akan membangkitkan semangat juang pasukannya  untuk memenangkan pertempuran di medan laga.

Mohon maaf jika tulisan ini kurang sependapat dengan para kompasianers yang menyukai sinetron politik berjudul “Ketulusan air mata”. Jujur, saya dan warga lainnya banyak juga yang tidak menyukai Sinetron!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline