[caption id="attachment_325564" align="aligncenter" width="544" caption="Din Syamsudin / pontianak.tribunnews"][/caption]
Pernyataan Din Syamsuddin tentang air kemasan gayung bersambut di media. Banyak yang mengatakan Din inkonsisten, mengharamkan air kemasan tapi meminumnya juga saat menghadiri Munas Tarjih di Palembang, Jum'at, (28/2/2014)
Penulis sendiri tidak melihat inkonsistensi dari sikap Din. Jelas saat mengungkapkan pendapatnya mengenai air kemasan, Din mengkaitkannya dengan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Selain itu berkaitan juga dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pernyataan ini menegaskan Din kecewa pada negara yang tak bisa berbuat apa-apa dengan tumbuh suburnya pabrik air kemasan. Apalagi dalam skala besar pengelolaannya banyak melibatkan asing. Privatisasi asing inilah kunci dari pernyataan Din Syamsuddin.
Makanya Din mengakhirinya dengan kalimat tantangan agar majelis tarjih berani memutuskan keharaman air kemasan (yang dikelola pihak asing) dengan ungkapan, “Kalau bagi saya, air kemasan (yang diprivatisasi asing) itu haram.” Cilakanya media menulis secara polos pernyatan Din tanpa keterangan tambahan seperti dalam kurung.
Padahal, ucapan Din ini harus dimaknai secara tersirat bahwa dia mengharamkan air kemasan yang dikelola oleh swasta dan asing tadi karena bertentangan dengan UUD 1945. Apapun yang bertentangan dengan UU tentu tak diragukan lagi keharamannya, dalam hal ini keharaman yang diukur Din menyangkut pengelolaannya diluar koridor hukum negara, dan sebaliknya tentu dia tidak akan mengharamkan air kemasan tersebut bila dikelola oleh negara. UU yang menghalalkan demikian, bukan Din Syamsuddin.
Yang menjadi permasalahan, kita hanya melihat tutup dari sebuah botol tanpa mau memahami isinya. Padahal jelas apa yang diungkapkan oleh Din menyangkut isinya. Soal air kemasan yang dikuasai asing tentu akan membahayakan kehidupan bangsa ini di masa mendatang. Hari ini air di privatisasi asing, tidak tertutup kemungkinan sumber daya yang lain juga dikomersialisasikan.
Bentuknya bisa saja mengkomersialisasikan sumber daya hutan gersang yang mereka sulap menjadi rimbun. Hutan yang rusak mereka kelola, mereka berikan semua kebutuhan masayarakat. Jadilah kota satelit, di mana kita harus membayar mahal untuk mencicipi kesejukannya. Apa pemikiran ini terlalu jauh? Tidak. Kapitaslime selalu menciptakan peluang untuk menguras sumber daya alam kawasan mana saja. Mereka punya semuanya mulai dari kekuatan uang, alat dan SDM-nya, sementara kita sendiri terpuruk semuanya.
Jadi kesimpulannya, jangan melihat tutupnya saja, baca dengan lengkap dan cerna yang tersirat agar kita memahami maksud pernyataan Din yang sebenarnya. Itu pandangan saya. Jika ada yang berbeda itu pertanda dinamika kita jalan dan kita haus dengan pengetahuan. Mari rehat dan minum air kemasan dari dapur masing-masing. Di jamin halal.
Salam pencerahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H