[caption id="" align="aligncenter" width="534" caption="berbagiqurban.blogspot.com"][/caption]
Kita sangat setuju ketika KPAI menyelamatkan anak-anak dari sebuah panti asuhan dengan alasan tak dirawat dengan semestinya. Begitu juga ketika KPAI memberikan pendampingan dan pembelaan terhadap korban-korban tindak kekerasan, pelecehan, atau bentuk pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak.
Terakhir ketika KPAI mengadukan parpol pada Bawaslu karena melibatkan anak-anak dalam kampanye juga patut diapresiasi. Langkah KPAI tersebut adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap anak agar dunia mereka yang lembut jangan sampai dibenturkan dengan alam orang dewasa yang penuh dengan heboisme. Dalam kasus-kasus tersebut, kita semua rasanya tidak akan berdebat dan mendukung semua langkah KPAI demi menyelamatkan jiwa-jiwa anak yang gampang mengikuti apa yang mereka lihat.
Anak adalah aset bangsa. Tanpa anak sebuah bangsa tak memiliki investasi untuk kelangsungan masa depan.
Namun dalam beberapa hal banyak juga yang harus dibenahi oleh KPAI. Sebagai contoh sudah sejauh mana peran KPAI melindungi anak-anak untuk mendapatkan mutu pendidikan yang sama di suatu sekolah. Dalam hal ini peran KPAI tidak terlihat. Masih banyak kita temukan diberbagai daerah anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena kesulitan biaya. Di sini tak terlihat ada gerakan dari KPAI untuk membantu. Mungkin karena merasa bukan wewenangnya. Padahal tujuan KPAI sendiri secara umum adalah meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Bagaimana seorang anak akan mendapatkan kualitasnya apabila dari segi pendidikan saja mereka kurang mendapat pembelaan. Hampir di semua sekolah, terutama eks RSBI atau sekolah yang mengaku SSN, tiap tahun selalu membebani keuangan orang tua murid dengan berbagai biaya yang aneh-aneh. Orang tua siswa wajib memenuhi syarat tersebut. Adakalanya anak terkadang menanggung malu dan tertekan karena sering ditagih pihak sekolah atau dipermalukan oleh teman sendiri. Hal seperti ini selalu terjadi dan perasaan seorang anak yang tertekan secara psikologis tadi gagal ditangkap oleh KPAI.
Dalam banyak kasus KPAI di daerah hanya terlihat eksis ketika melakukan pembelaan terhadap seorang anak yang diduga mengalami pelecehan, kekerasan fisik atau verbal di sekolah. Di luar itu eksistensi KPAI seperti tidak terlihat.Padahal kalau kita pikirkan, penderitaan anak yang tak mampu dari segi ekonomi dan terpaksa menanngung malu atas ketidakberdayaannya lebih parah dan lebih meluas dibanding kekerasan atau pelecehan tadi.
Kasus seperti ini kalau mau sejujurnya tanpa memerlukan kehadiran KPAI juga bisa selesai. Bawa ke aparat hukum, sidang, terima vonis. Selesai. Tetapi menyangkut beban biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua, terutama tiap tahun pelajaran baru, apa bisa diselesaikan di kantor polisi? Jangankan aparat hukum, dinas pendidikan setempat saja terkadang cuek dengan masalah ini.
Kasus lainnya yang juga sering diabaikan oleh KPAI adalah seringnya ekploitasi anak yang dilakukan orang tua dan media. Banyak anak-anak yang diarahkan menjadi orang terkenal dengan ikut kontes-kontes seperti da'i cilik, penyanyi cilik dan sebagainya. Anak seakan dipaksa menjadi orang ternama sehingga di mata orang tua dapat menjadi mesin uang di masa mendatang. Padahal kalau merujuk ke AS sana, KPAI pasti tahu mana ada penyanyi cilik di sana. Melakukan "serba kontes-kontesan cilik" seperti itu dianggap ekploitasi terhadap anak. Tapi kenapa dalam hal ini KPAI tidak mengambil langkah atau melakukan gugatan terhadap orang tua dan media televisi yang nyata-nyata mengekploitasi anak?
Entahlah. Hanya KPAI yang bisa menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H