Lihat ke Halaman Asli

Erwin Alwazir

Karyawan Swasta

Stop Perilaku Sok Militerisme di Lembaga Pendidikan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto korban STIP. ©2014 merdeka.com/yan muhardiansyah

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="foto korban STIP. ©2014 merdeka.com/yan muhardiansyah"][/caption]

Dulu kita sering disuguhi cerita kekerasan yang dilakukan kakak tingkat terhadap yuniornya di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)  sehingga lembaga yang fungsinya mempersiapkan kader pemerintah baik di daerah maupun pusat ini sering diplesetkan menjadi Sekolah Tinggi Petinju Dalam Negeri  sebelum berubah menjadi  Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Kini setelah berita kekerasan yang terjadi di IPDN jauh berkurang bahkan nyaris tidak terdengar dalam beberapa tahun terakhir, sekali lagi kita dikejutkan oleh tindak kekersan yang menimbukan korban nyawa. Areal TKP-nya tak berubah. Lagi-lagi terjadi di institusi pendidikan yang menerapkan pola pendidikan berlagak militerisme seperti peristiwa kekerasan yang baru-baru ini  terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.

Hanya karena alasan yang kurang pas, para senior siswa di STIP dikabarkan menghukum yuniornya dengan cara-cara yang tak terpuji. Memukul, menendang, bahkan meludahi wajah adik kelasnya mungkin sudah menjadi kebiasaan dari para senior-senior calon pelaut ini. Akibatnya salah seorang siswa STIP, Dimas Dikita Handoko, Taruna tingkat 1, tewas setelah mengalami serangkaian tindak kekerasan yang diklaim sebagai hukuman oleh para seniornya. Luar biasa angkuhnya. Mereka seperti provost, PM, atau oditur militer  saja yang merasa berwenang menetapkan suatu tindakan atau sanksi pada pihak yang dianggap bersalah.

Memang kalau kita perhatikan,  di berbagai institusi pendidikan seperti IPDN atau STIP, kesan miiterisme masih terlihat ingin ditonjolkan. Lihat saja dari segi tingkah dan dandanan mereka. Pangkat dipakaian seragam berderet-deret. Lambangnya mungkin lengkap mulai dari ikan hiu sampai ikan teri. Hiu mungkin pertanda senior, Teri mungkin dianggap anak kemarin maghrib. Rambut juga dipotong cepak. Gaya berjalan juga dibuat setegap mungkin untuk menunjukan betapa berwibawanya mereka. Padahal tiap bulan merengek-rengek minta kiriman uang dari orang tua buat beli rokok. Tak dapat kiriman bukan cerita usang kalau mereka suka juga ngemplang makan atau minta dijajanin yunior dengan dalih penghargaan terhadap pembina pendamping. Kayak pramuka zaman orba yang selalu ngemis-ngemis minta jatah pada negara.

Prinsip merasa lebih tua, lebih senior, sarat pengalaman, seringkali membuat seseorang khususnya mahasiswa atau pelajar mendjadi tinggi hati. Mereka selalu ingin dihargai dan tidak mentolerir kesalahan yang dilakukan oleh kelompok yang dianggap anak kemarin maghrib tadi. Ujung-ujungnya melakukan tindak kekerasan sebagai dalih untuk menegakkan disiplin seringkali dilakukan tanpa memiikirkan dampak akibatnya. Barulah ketika jatuh korban mereka merengek-rengek minta perlindungan dari institusi dan orangtua agar terhindar dari hukuman.

Apa yang terjadi pada Dimas merupakan contoh bagaimana pola-pola militerisme yang keliru dalam pendidikan kita selain dapat menimbukan dendam warisan juga dapat menimbulkan korban jiwa. Pola-pola ini sebenarnya bukan hanya sering diterapkan oleh  institusi yang sok militer tadi. Dalam sejumlah kasus, banyak juga korban yang jatuh kejadiannya bukan dilembaga pendidikan berbau militer. Di sekolah menengah atau sejumlah kampus ada juga yang menjadi korban walau tak sampai menghilangkan nyawa. Minimal korban harga diri yang melahirkan dendam warisan di kemudian hari. Tak sanggup membalas karena senior keburu melaut atau lulus, mereka akan melampiaskan pada adik tingkatnya kelak.

Pertanyaannya, sejauh mana intitusi pendidikan mempertanggungjawabkan perilaku sok militerisme yang melahirkan dendam warisan  ini? Atau cukup bilang “prihatin” dan mengatakan perbuatan tersebut  bukan bagian dari kurikulum?

Referensi : Ini Kesadisan Senior Dimas di STIP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline