(Tulisan ini tentang Amien Rais. Yang nggak suka silahkan bikin tulisan tandingan. Tapi dilarang menulis sambil tidur. Ehem!)
Amien itu orang Jawa yang berpola Sumatera. Dia blak-blakan mirip dengan Ahok. Bedanya, Kalau Amien bersuara, walau mengandung kebenaran, maka para pembencinya turut bersuara lebih gila-gilaan dari Amien. Beda pelayanan dengan Ahok. Kalau dia yang ngomong, terlepas benar atau salah, mereka yang nggak suka Ahok biasanya mengkritik dengan wajar. Sementara yang menyukai Ahok membela mati-matian sampai ada yang mengaku “siap menunaikan perang saudara”. Respon berlebihan. Seolah-olah hanya dia saja yang doyan angkat botol kecap berisi bensin. Kalau hanya mengandalkan nekat sesaat semua orang juga bisa. Masalahnya, apa harus begitu? Halah, tong kosong nyaring bunyinya deh.
Perilaku mendua dalam bersikap memang ciri pribadi yang njomplang. Lebih njomplang lagi kalau para pendengki Amien ini hanya diam dan bungkam ketika tahu ada usaha teror dari orang tak dikenal terhadap Amien dengan melakukan penembakan. Beberapa oknum yang mengaku “ahli kebenaran” ini malah sibuk mengomentari dengan tujuan mendiskreditkan korban. Perilaku tak elok, kata Ruhut. Coba kalau yang diteror itu katakanlah Lurah Susan. Pastilah produktifitas para “Pakar Kemulyaan” di Kompasiana melesat tinggi. Menulis seharian lengkap dengan pasal-pasal KUHP dan UU pendukung lainnya. Semua disangkutpautkan. Jadilah fiksi terbaik hari ini.
Sikap yang diambil penulis yang sudah berubah menjadi penulis partisan memang wajar. Cuma kalau mengaku pejuang demokrasi, pluralisme atau HAM malah tak wajar.Sebab, menurut saya, ketika kita memperjuangkan kebenaran, demokratisasi, pluralisme dan sebagainya, maka selayaknya segala sikap yang berbau intoleran, teror, fitnah dan lain-lain, wajib kita kecam, tanpa memilih dulu siapa yang wajib dibela (lewat tulisan) dan siapa yang pembelaannya dilabeli sunnah (cukup hadir di kolom komentar teman)
Yang tak setuju Ahok jadi gubernur karena dasar keyakinan hukumnya wajib kita kecam. Ahok terlalu “obral mulut” kita kecam juga. Cuma hukumnya Sunnah, karena sampai hari ini tak UU yang mengatur kapan Ahok harus “memonyongkan” mulut dan kapan dilarang “menghamburkan” ludah didepan wartawan.Penutupan Gereja kita kecam, pelarangan bangun Masjid kita kecam. Bukan mau seenaknya. Pembongkaran gereja kita koar-koar. Penutupan masjid baru tepuk tangan diam-diam. Atau kedua status terbalik. Musibah Gereja kita sambut riang, musibah masjid dianggap bodoh amat. Nah, itu berarti kita belum siap merayakan perbedaan seperti maunya kompas.com.
Perilaku standar ganda seperti ini memang menjengkelkan. Sayangnya sejak lama sudah menyasar pada Amien Rais. Ucapan dan tindakannya kerap memantik perhatian media dengan dibumbui kutipan tertentu. Habis beritanya dimuat, biasanya ramai netizen mengomentari. Mayoritas tentu adalah orang yang nggak suka dengan Amien Rais. Berbagai hujatan dan celaan biasanya dilayangkan. Hebatnya sosok satu ini, belum pernah sekalipun melayangkan somasi atau menuntut secara hukum para tukang fitnah yang terus mengotori perjalanan politiknya dengan menyebar fakta palsu. Mungkin Amien Terinspirasi dengan pola kepemimpinan Nabi Muhammad. Walau selalu dicela, dimaki, di fitnah, bahkan sampai diludahi para penentangnya, Nabi terus bertahan dan hingga kini tak pudar kemulyaannya di mata umat.
Contoh kepalsuan lain yang benar-benar mendatangkan pahala besar bagi Amien, dan sebaliknya menambah dosa para pembencinya ketika media memelintir ucapan Amien soal “Mentalitas Perang Badar” yang seenaknya diubah media menjadi “perang Badar”.Perubahan yang menjadi kontroversi karena langsung disambut hangat oleh para loyalis anti Amien. Amien difitnah ingin memecah-belah bangsa. Padahal kalau mau dipikir, seandainya seorang gurumenasehati siseanya “Kalian kalau mau lulus ujian maka ber juanglah dengan menggunakan mentalitas Perang Kemerderkaan”. Apa berarti guru mengajarkan perang saudara kepada siswa? Pandangan yang keliru kalau tidak mau dikatakan konyol.
Begitu juga menyangkut Gus Dur. Masih banyak pandangan aneh di Kompasiana yang menganggap Amien orang paling bertanggungjawab atas naik dan jatuhnya Gus Dur. Padahal sejarah mencatat, Gus Dur dijatuhkan atas kecerobohannya sendiri dengan mengeluarkan dekrit. Penyebab lainnya tentu karena selama berkuasa Gus Dur sering dirugikan oleh orang-orang disekitarnya dengan memanfaatkan kelemahan fisik sang presiden. Jika itu terus terjadi maka negara bisa lumpuh atau terus dirugikan kelak. Itulah dalih penguat untuk melakukan penggantian.
Yang lebih konyol lagi seseorang terus berkomentar sama dengan mengatakan Amien menghadap dan menjilat Soeharto agar terpilih jadi ketum Muhammadiyah.Wele, jangankan Soeharto, Mas Bro. Soekarno dan PBB saja tak bisa menentukan dan mengatur masalah rumah tangga Muhammadiyah. Termasuk anda atau pemerintahan yang sekarang.
Menyebut Amien pernah menjilat Orba adalah pemikiran konyol bagi mereka yang tidak tahu tata cara pemilihan ketum Muhammadiyah.Muhammadiyah punya mekanisme tersendiri untuik mengatur organisasinya. Tak ada istilah persaingan memperebutkan jabatan di tubuh Muhammadiyah. Cek saja. Belum pernah ada dalam catatan sejarah ada ketua Muhammdiyah tandingan, seperti halnya HMI, PDI, PPP.Bahkan ormas NU sendiri yang banyak dipenuhi Kyai khaos tak mampu mencegah Abu Hasan membentuk NU tandingan setelah dikalahkan Gus Dur. Artinya secara logika, akan sangat sulit orde baru menjatuhkan Amien Rais jika dikehendaki Muktamirin. Yang terjadi adalah Amien yang didukung eksponen Muhammadiyah dan ormas lintas agama lain sukses menjatuhkan Orde baru.
Mungkin mereka yang tak menyukai sosok Amien ini ketika reformasi dulu kebanyakan sembunyi di kamar sehingga tidak tahu kalau Amien-lah yang pontang-panting menggalang dukungan dari rakyat dan lintas golongan serta agama untuk menjungkalkan kekuasaan orde baru. Atau baru kenal politik pasca reformasi 1998. Mungkin saja. Sebab, Mahasiswa sendiri baru berani turun ke jalan sekitar 1997-an ke atas, Jauh sebelum Amien menentang orba saat menjabat dosen dan mencapai popularitasnya saat ia menggulirkan isu suksesi kepemimpinan nasional. Selain Amien ada juga sosok Sri Bintang Pamungkas yang dipenjarakan orba karena melakukan demo di luar negri.
Reformasi sudah didengungkan Amien saat Adian Napitupulu mungkin masih berpakaian celana SD atau SMP!Sementara tokoh-tokoh yang kita kagumi sekarang hidup di rimba tak bernama. Sulit mencarinya saat itu. Mungkin lagi semedi. Atau susun strategi cari keuntungan tanpa harus berjuang. Mereka benci orba tapi takut bersuara. Sementara Amien sejak lama lantang menolak orba terlalu lama berkuasa. Di mata Amien, kekuasaan yang terlalu lama cenderung korup! Terbukti, beberapa tahun kemudian Korupsi menggurita sehingga menjadi awal kejatuhan orde tersebut.
Melihat sepak terjang sekilas dari Amien Rais, Memang hak kita untuk memuja atau membenci pengemplang pajak atau penjual aset negara. Hak anda untuk membenci seseorang.Namun hak yang lain juga untuk mengkritik jagoan yang anda pandang suci atau pantas dimulyakan. Relatif saja. Pasti semuanya punya titik cela. Bedanya, kita tidak perlu pernah mendahulukan celaan dan fitnah, baik terhadap Jokowi, Prabowo atau yang lain.Saya pribadi tak punya keberanian melakukan itu, karena saya tak mau menjadi pribadi tandingan bagi orang lain!
Salam Anti Teror!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H