Tari Topeng Lengger Wonosobo - Kesenian Magis Yang Merekam Penyebaran Islam
Dikisahkan pada tahun 1500-an, di suatu sore ada keramaian warga menonton pertunjukkan tari, Sunan Kalijaga mengajak salah satu murid perempuannya menari berpasangan dengan mengenakan topeng. Muda-mudi dan remaja pun tertarik menonton tarian dua orang bertopeng itu. Penonton pun menari bersama mengikuti irama gending dan tembang hingga menjelang Magrib, lalu tarian dihentikan dan topeng dibuka. Penonton tidak tahu salah satu penarinya Sunan Kalijaga, mereka terkejut dan menyimak pesan yang dituturkannya.
Salah satunya ialah “Elingo Ngger, yen kowe bakale mati” (Ingatlah Nak, suatu saat kamu akan mati). Frasa ‘Elingo Ngger’ itu banyak diyakini awal dari penamaan tari Lengger. Sementara dari sumber lain ada istilah ‘Le dan Geger’ yaitu laki-laki yang membuat geger. Karena para penari itu awalnya dikira perempuan. Di literatur lain, juga dikaitkan dengan simbol Lingga dan Yoni sebagai lambang kesuburan dan tarian umumnya dipentaskan di pesta panen.
Syair dan ajaran Sunan Kalijaga diyakini mempengaruhi tembang Tari Topeng Lengger, yang hingga kini masih banyak dilestarikan di Wonosobo. Salah satunya ada di tembang Sontoloyo (Penggembala Bebek). Tembang itu mengisahkan lunturnya ajaran Hindu-Buda ketika datangnya islam.“Sontoloyo, angon bebek ilang loro. Sing kuning ra patiya, sing abang pirang-pirang. Ala bapak Sontoloyo, Grayang-grayang tangane loro.” Maknanya: Raja Brawijaya 5 (penggembala keyakinan rakyatnya) meninggalkan dua agama besar (Hindu dan Buda) berganti Islam. Meski berusaha sekuat tenaga tapi apa daya, manusia hanya punya dua tangan.
Kisah itu dituturkan turun-temurun di keluarga seniman Wonosobo yang kini masih melestarikan tari Topeng Lengger lengkap dengan puluhan jenis topeng, gending dan tembangnya. Bahkan di dusun Giyanti (Ejaan belanda, nama asli: Njanti), desa Kadipaten, kecamatan Selomerto, seluruh warganya sangat dekat dengan Topeng Lengger. Di sana ada sanggar, penari, niyaga, hingga pembuat topengnya. Giyanti, dusun pertanian subur yang tiap tahun menggelar pesta panen ‘Nyadran Tenong’ dan puncaknya menampilkan tari Punjen Topeng Lengger yang menjadi ikon Wonosobo sejak tahun 1980-an.
Salah satu seniman pelestari Topeng Lengger ialah Dwi Pranyoto (39 tahun), pengasuh Sanggar Rukun Putri Budaya generasi ke-3 yang meneruskan kiprah Kakeknya, Almarhum Hadi Suwarno (1939 - 1995). Dwi juga dipercaya membimbing para penari di event ‘Wisuda Lengger’ hingga melatih beberapa kesenian di desa-desa lain dan terlibat di pementasan besar di tingkat kabupaten hingga ke TMII.
Tari Topeng Lengger tak lepas dari era Lengger Lanang di tahun 1960-1979. Dituturkan mantan penari Lengger Lanang, Ngadidjo (68 Tahun), tren pentas lengger lanang mulai menghilang pada 1979 yang diteruskan dengan lahirnya Lengger Putri. Para penari puteri generasi awal merupakan asuhan Hadi Suwarno. Mereka adalah Sukarsih, Sri Ningsih (Adik Ngadidjo), Sulasih, dan Narsih yang terkenal pada 1979-1989. Mereka kemudian banyak disebut dengan monomim ‘Lengger’ sebagai sebutan yang disandang penari professional.
Generasi ke-2 penari Topeng Lengger Puteri dimulai di taun 1988 ketika Sri Winarti (Wiwin) mulai belajar Lengger di usia 8 tahun diasuh oleh Hadi Suwarno. Hingga kini Wiwin masih aktif melatih Lengger serta menjadi sinden pengiring Topeng Lengger. Wiwin bersama Dwi mengawali pentas professional mereka ketika masih sangat belia. Bahkan di 1990, mereka pentas Topeng Lengger berpasangan mewakili Wonosobo tampil di Taman Mini Indonesia Indah.