Lihat ke Halaman Asli

Kang Basari dan Pak Abdullah, Seni Survive Bermartabat

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa hari lalu saya pulang ke kampung kelahiran saya. Karena terlalu mendadak dan tanpa pemberitahuan, Simbok dan Pak'e tidak menyisakan sedikitpun makanan buat saya. Alhasil saya dipaksa “jajan” di luar sama Simbok. Wihhh … padahal saya sudah ngeces membayangkan lodeh dan sambel terinya simbok yang tinggal sisa-sisa. Tapi yo wes lah gak po po, masih ada Mie Ayam Kang Basari, mie ayam langganan saya kalo pulang kampung. Saya segera bergegas dengan vespanya Pak’e, karena dari siang belum ada satupun makanan yang njenguk di lambung saya (saya sengaja memakai kata njenguk karena makanan hanya mampir sebelum ia ditransformasi menjadi ta*, he he he he).

Dulu kang Basari memulai usahanya dengan mie ayam keliling, ia yang door to door, jemput bola mendatangi pelanggannya. Tapi kini dibalik, pelanggan Kang Basari yang harus rela mendatangi warung Kang Basari, he he he he.

Begitu sampai di depan warung, aku terkejut. Di samping warung Kang Basari teronggok puluhan bangkai kompor gas berikut onderdilnya. Lho, Kang Basari ganti bisnis to?

Mboten, mie ayam tetep jalan, kok! Monggo nak ajeng dhahar!” serunya.

Ternyata selain dagang mie ayam, Kang Basari juga membuka reparasi kompor gas! Lho, sejak kapan Kang Basari sekolah reparasi kompor gas!

Kulo mung ngelmu titen, ngelmu ketok, ngelmu pakulinan lan ngelmu pethel,” katanya.

Titen itu hipotesa yang didapat dari pengamatan dan pengalaman, ketok itu merekonstruksi dan memodeling ulang agar bisa dipelajari, pakulinan itu learning by doing, dan pethel itu semangat belajar tanpa mengenal menyerah. Weee … elok tenan! Kang Basari melakukan analisa Zone Oriented Plan Project!

Lha, jualan mie ayamnya apa kurang laris to Kang? Kok ndadak melakukan diversifikasi usaha! Cetus saya iseng.

“Lho lha ndak gitu mas, udu masalah golek duit tok,” kata Kang Basari. Segera saja ia berdemonstrasi menunjukkan betapa ia sangat mengenal kompor gas. Ia menunjukkan bagaimana regulator yang baik hingga komponen kecil yang saya ndak tahu namanya, yang kata Kang Basari adalah penentu utama jalannya gas di regulator. Semua ia bongkar, ia teliti, ia amati, ia pelajari dengan ngelmu titen, ngelmu ketok, ngelmu logika, ngelmu pakulinan dan ngelmu pethel. Untuk eksperimen itu ia rela membongkar 2 kompor gas miliknya, dan keluyuran ke pasar-pasar loak untuk “meng-kanibal” dan mencari dan membandingkan komponen yang bagus berkualitas namun harganya terjangkau oleh masyarakat.

“Saya ndak boleh main-main saya harus bisa dan harus bener, masyarakat membutuhkan, ben sing njebluk mung komporku tok!” katanya. Mantap, Kang Basari adalah hero!

***

Sehari setelah berkunjung ke Kang Basari, saya ngobrol dengan sigaraning nyowo saya, Genduk Indri tercinta.

Ia cerita baru saja proof reading sebuah buku biografi seorang pendiri penerbitan di kota kami. Buku itu bagus, apalagi ditulis “Mbak AE”, seorang penulis buku biografi ternama. Weitsss, kaya apa tuh! Segera saja si Genduk nyerocos tentang isi buku yang katanya sangat menarik, memikat dan menginspirasi itu (sumpah, istri saya ini tak pandai ber-marketing, jadi biasanya kalau dia bilang bagus, ya pasti tidak jauh juga bagusnya he he he)

(calon) Buku itu bercerita tentang kisah Bu Aminah dan Pak Abdullah, pendiri penerbitan tersebut. Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang berprofesi sebagai pengajar sekaligus memilki usaha distribusi buku di Wuryantoro (kalau tidak salah he he he), buku-buku sekolah dari berbagai penerbit. Hingga suatu saat Pak Abdullah tersentuh melihat banyak murid-muridnya yang menangis karena tidak lulus ujian. Saat itu kualitas ujian Negara dan ujian sekolah tempat Pak Abdullah mengajar sangat berbeda. Pak Abdullah segera bereaksi. Ia membuat kumpulan soal, berikut dengan pembahasan dan analisa lalu dicetak dengan mesin stensil! Hasilnya luar biasa, banyak murid-murid yang terbantu dan bisa lulus ujian. Lalu Pak Abdullah mulai memasarkannya untuk membantu murid-murid dari daerah lain. Ia menggunakan peta, mendata kecamatan yang ada, lalu mengirimkan sampel ke SD Negeri 1 ke setiap kecamatan, karena setiap kecamatan pasti memiliki SD Negeri 1.

Hasilnya luar biasa. Sekarang rintisan Pak Abdullah sudah menjelma menjadi perusahaan penerbitan yang cukup besar dan menjadi gantungan hidup ribuan orang. Namun seperti pesan Pak Abdullah, semua harus untuk pendidikan! Kumpulan soal stensilan itu kini menjelma menjadi berbagai amal usaha mulai dari sekolah, pondok pesantren hingga pusat perbelanjaan dan toko buku. Mantap, Pak Abdullah adalah hero!

***

Kang Basari dan Pak Abdullah tentu saja jauh berbeda, tapi mental mereka sama. Saya berharap suatu saat Kang Basari bisa seperti Pak Abdullah. Mereka memulai usaha dengan niat baik. Bagi orang-orang seperti mereka, bekerja tak sekadar bisa survive dan menghidupi keluarga, tapi juga bermartabat dan bermanfaat bagi sesamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline