Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan program sekolah penggerak yang berkolaborasi dengan pemerintah daerah (pemda). Program ini sebagai katalis dalam mewujudkan visi pendidikan Indonesia yaitu mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, mandiri, beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha ESA, dan berakhlak mulia, bergotong royong dan berkebhinekaan global.
Sekolah Penggerak ini diharapkan mampu untuk menggerakkan sekolah-sekolah lain yang memiliki ciri-ciri: 1) Kepala Sekolah, dapat memahami proses pembelajaran siswa dan mampu mengembangkan kemampuan guru-guru dalam mengajar (instructional leader). 2) Guru, harus berpihak kepada anak dan mengajar sesuai tahap perkembangan siswa (teach at the right level). 3) Komunitas, segenap orang tua, tokoh, serta organisasi masyarakat menyokong sekolah dalam meningkatkan kualitas belajar siswa. 4) Menciptakan siswa yanag berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan berkebhinekaan global.
Program Sekolah Penggerak (PSP) memiliki program yang memiliki kaitan yang erat antara satu . sama lain. Pertama, pendampingan konsultatif dan asimitris yaitu kerja sama Kemendikbud dengan Pemda memberikan pendampingan implementasi Sekolah Penggerak. Kedua, penguatan SDM di sekolah melalui pelatihan dan pendampingan intensif dengan pelatih yang disediakan Kemendikbud. Ketiga, pembelajaran dengan paradigma baru menyesuaikan dengan kebutuhan dan pengembangan siswa. Keempat, perencanaan berbasis data hasil refleksi diri satuan pendidikan. Kelima, digitalisasi sekolah melalui penggunaan platform digital untuk mengurangi kompleksititas, menambah efisiensi, inspirasi, dan pendekatan yang sesuai kebutuhan saja.
Dari data yang telah disebutkan di atas, Program Sekolah Penggerak (PSP), masih terdapat kontra dari beberapa masyarakat khususnya dari pengajar. Yang pertama adalah tujuan dari pembelajaran kurikulum sekolah penggerak, dimana pada kurikulum yang sebelumnya yaitu K13 guru masih kurang dalam pengimplementasiannya dan baru sebatas memahami tentang kurikulum. Maka dari itu, hal tersebut harus dapat diatasi oleh guru dengan memiliki pemahaman yang optimal dalam mengajarkan materi kepada peserta didik agar tujuan dari pengembangan kurikulum dapat berjalan seperti yang diinginkan.
Yang kedua adalah manajemen waktu pelatihan kurikulum sekolah penggerak yang singkat. Pelatihan dan sosialisasi menjadi akar dari berhasil tidaknya implementasi dari kurikulum itu sendiri. Dalam penyelenggaraan pelatihan dan sosialisasi massal hanya diberikan waktu yang singkat melalui gelombang-gelombang yang ada. Waktu singkat tersebutlah yang menimbulkan kebingungan pada peserta di mana materi belum disampaikan secara terperinci dan detail yang berdampak pada wawasan dan pengetahuan guru yang tidak mumpuni dan memadai untuk bekal dalam mengimplementasikan kurikulum yang baru.
Permasalahan yang terakhir adalah minimnya informasi kurikulum sekolah penggerak. Hal ini masih berhubungan dengan proses pelatihan dan sosialisasi yang kurang diperparah dengan guru yang hanya mengandalkan informasi dari sekolah. Seharusnya guru bisa mencari sendiri pengetahuan atau informasi dari luar dengan mengikuti workshop untuk menambah wawasan mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari sisi pengajar sendiri masih memiliki kekurangan atau hambatan dalam menerapkan kebijakan dari Program Sekolah Penggerak (PSP) di mana niat pemerintah untuk mengubah kurikulum adalah baik akan tetapi dalam pengimplementasiannya masih kurang tepat dikarenakan masih terdapat pandemi covid-19, selain itu dari sisi pengajar sendiri juga baru sebatas memahami belum maksimal dalam proses pengimplementasiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H