Lihat ke Halaman Asli

Ervina P Hasibuan

ordinary people

Literasi, Anak, dan Gereja

Diperbarui: 13 Juni 2024   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengetahuan berkaitan dengan kemampuan berliterasi yang baik. Penelitian hasil PISA 2018 dan UNESCO menyebutkan kemampuan literasi Indonesia termasuk rendah. Rendahnya minat literasi bukan pada buta aksara, tetapi salah satunya karena kurangnya minat membaca.

Elizabeth Hurlock seperti yang dikutip Suwandi, menyebutkan bahwa minat tumbuh dari tiga pengalaman belajar (Suwandi:117). Pertama, dalam belajar-coba-ralat, anak mempunyai kesempatan untuk mencoba menemukan bahwa sesuatu menarik perhatian mereka. Kedua, anak mengidentifikasi dengan orang yang mereka cintai dan kagumi. 

Jika ayah atau ibu yang mereka cintai suka membaca, maka anak mungkin akan mengembangkan minat sama. Ketiga, minat mungkin berkembang melalui bimbingan dan pengarahan seseorang yang memahami kemampuan anak. Minat kemudian menjadi kebiasaan  dan kebiasaan membaca tumbuh ketika seseorang juga memiliki rasa ingin tahu. 

Menurut Paulo Freire, memberikan pengetahuan bukanlah seperti konsep menabung, tetapi memberikan ruang-ruang dialog bagi murid/anak untuk berkreasi, berpikir dan bertanya-jawab. Freire menyebutkan pemikiran tentang ruang dialog dalam pendidikan yang disebut pendidikan hadap masalah (problem posing). 

Anak-anak bersama dengan pendidik atau guru mencari jawaban atas masalah yang berhubungan dengan diri mereka di dunia, membangkitkan pemahaman baru dan tahap demi tahap mereka dilibatkan. Minat anak (termasuk dalam literasi) akan berkembang dengan orang yang memahami mereka. Minat baca pada anak-anak menciptakan kebiasaan berliterasi kelak di masa dewasa.

Komunitas literasi marak hadir dalam masyarakat untuk menumbuhkan minat baca terutama anak-anak. Mereka membuat taman bacaan melalui tempat seadanya, di garasi, teras rumah, melalui sepeda, becak, motor bahkan perahu pustaka. Menurut data Agustus 2018, ada 6.340 komunitas literasi yang ada di Indonesia. 

Asumsi ideal menyebutkan bahwa setiap 1.000 penduduk sebaiknya dilayani oleh satu taman bacaan atau perpustakaan komunitas. (Lukman Solihin, dkk:75). Artinya, jumlah taman baca saat ini tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini.

Ketika berkunjung ke gereja-gereja di daerah Nias, Mentawai dan Sumba Timur, penulis menemukan banyak anak-anak di gereja/sekolah minggu yang belum bisa membaca meski sudah duduk di kelas 3 dan kelas 4 SD. 

Penggunaan waktu luang yang tepat bagi anak-anak melalui literasi dapat difasilitasi oleh gereja, terutama yang berada daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) dengan melibatkan gereja-gereja atau masyarakat yang berada di daerah perkotaan. Anak-anak kelak menjadi generasi penerus gereja. 

Gereja memiliki tugas dan panggilan untuk mendidik jemaat, termasuk anak-anak. Sepertinya halnya komunitas literasi, gereja juga memiliki potensi memberikan ruang bagi literasi anak dengan mengusung konsep pendidikan dari Freire dan teori minat anak dari Hurlock. Namun, apakah gereja-gereja mau serius mendukung dan memberi perhatian khusus kepada anak-anak?  Inilah yang menjadi pertanyaan bagi saya.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline